25 November 2017
Terbangun jam 4 pagi oleh suara alarm, aku beranjak dari tempat tidur yang cukup nyaman di Memory Guesthouse ini dan segera melakukan aktivitas pagi. Tidurku semalam cukup nyenyak walaupun udara cukup dingin. Selimut besar yang disediakan di kamar cukup tebal dan nyaman. Setidaknya mulai pagi ini aku tidak perlu berjalan keluar dari kamar untuk pergi ke toilet.
Suamiku baru bangun sekitar jam 5 pagi. Kami pun bergantian mandi dengan air yang hangat-hangat kuku, namun aku sudah bersyukur karena tidak harus mandi dengan air yang sedingin es. Apabila pintu ke teras luar dibuka, terasa udara di luar yang cukup dingin menggigilkan tubuh.
Sekitar jam 6 pagi, kami berdua sudah selesai berkemas dan siap untuk berangkat, hanya tinggal menunggu waktu. Barang-barang sudah ditata semua ke dalam backpack. Matahari baru menampakkan sinarnya sekitar jam 6.15 pagi. Kami menunggu waktu sambil bersantai di kamar dan sesekali melihat atau memotret suasana di jalanan. Tampak cafe yang berada persis di seberang kamar kami sudah mulai buka sejak jam 6 pagi, padahal matahari belum lagi muncul, sementara toko-toko lain di sekitarnya masih tutup. Ternyata sepagi ini pun sudah ada satu dua orang yang tampak menikmati kopi paginya di cafe ini.
Baru sekitar jam 7.30 pagi, kami check-out dari tempat ini. Sepertinya belum ada tamu lain yang bangun. Kami sudah melunasi sisa pembayaran tadi malam, jadi pagi ini saat bertemu dengan pemiliknya di lantai dasar, kami tinggal berpamitan dan mengucapkan terima kasih saja.
Kami pun berjalan kaki menuju ke Hallan Chowk yang jaraknya hanya sekitar 400 meter saja. Jalanan masih tampak sangat sepi, hanya tampak beberapa kendaraan yang lewat. Toko-toko kebanyakan masih tutup, hanya beberapa cafe yang tampak sudah buka.
Saat tiba di Hallan Chowk, kami tidak tahu pastinya bus akan berhenti di mana. Tampak ada sebuah halte bus di tempat ini, jadi kami duduk dan menunggu di sana.
Setelah beberapa waktu menunggu, tampak sebuah liquor shop yang baru buka, jadi kami ke sana untuk membeli minuman, rokok, dan sekaligus bertanya kepada pemiliknya tempat menunggu tourist bus tujuan Kathmandu. Ternyata kami harus menyeberang jalan untuk menunggu bus tersebut. Kami masih duduk-duduk di halte sampai menjelang jam 8 pagi, baru kemudian menyeberang jalan dan menunggu di depan toko-toko yang masih tutup. Tidak lama kemudian datang seorang gadis muda yang menyeret kopernya, dan bertanya kepada kami benar tidaknya lokasi menunggu bus di sini, yang kami iyakan. Gadis ini berasal dari Australia, mungkin masih berusia sekitar 20 tahunan. Dari caranya berbicara dan bercerita, sepertinya dia agak arogan, jadi kami tidak terlalu lama mengobrol dengannya dan hanya mengiya-iyakan saja omongannya. Sementara itu, aku merasa ingin buang air kecil, jadi kudatangi liquor shop tadi untuk menumpang ke toilet, tapi ternyata di toko tersebut tidak ada toiletnya. Kata suamiku ada cafe yang sudah buka di balik perempatan jalan, maka aku pun setengah berlarian ke sana, karena waktu sudah menunjukkan jam 8.10 pagi.
Aku memesan secangkir kopi Americano seharga NRs 100, dan selagi pesananku dibuatkan, aku menumpang ke toiletnya. Selain cafe di luarnya, di dalamnya ternyata ada hotelnya juga. Toiletnya bersih dan sudah modern. Usai dari toilet, aku masih menunggu sebentar sampai kopinya selesai dibuat, dan usai membayar, aku berlarian menuju ke tempat menunggu bus tadi.
Belum lagi 5 menit, bus yang kami tunggu akhirnya datang juga. Barang-barang kami dimasukkan ke dalam bagasi di sisi belakang bus, kecuali backpackku yang aku bawa duduk bersamaku. Walaupun busnya sudah tampak agak usang, namun interior di dalamnya memang jauh berbeda dengan tourist bus yang kami naiki dari Kathmandu ke Pokhara. Tempat duduknyanya tampak jauh lebih mewah dan besar, seperti sofa, walaupun sudah tampak usang dan agak sedikit kotor. Tiap baris hanya berisi 3 tempat duduk saja, 2 di sisi kanan dan 1 di sisi kiri, dengan jarak antarbaris yang lumayan lapang. Sandaran tempat duduknya bisa disetel maju atau mundur, dan ada tempat untuk meletakkan gelas atau botol di sandaran tangannya. Sebuah botol air volume 1 liter sudah disediakan untuk tiap penumpang. Selain itu, ada 2 buah USB plug di samping kanan, jadi tidak perlu kuatir kehabisan baterai HP sepanjang perjalanan.
Setelah duduk, ada seorang pramugari yang mendata penumpang yang masuk. Tiap orang dicocokkan antara nama dengan tempat duduknya, tidak seperti bus yang terdahulu, agak asal-asalan saja dan penumpang seperti kurang dihargai. Selain kami, masih ada beberapa penumpang lain yang naik di sini.
Sekitar jam 8.25 pagi, bus mulai berangkat meninggalkan Hallan Chowk. Sejenak terbersit rasa sedih di hatiku karena harus meninggalkan Pokhara dan segala keindahannya.
Karena kali ini aku duduk di dekat jendela di sisi kanan, aku bisa mendokumentasikan perjalanan kali ini dengan lebih baik. Cukup banyak foto dan video yang kuambil sepanjang perjalanan.
Hanya satu hal yang membuatku kurang nyaman sepanjang perjalanan panjang ini. Ternyata tempat dudukku ini posisinya agak miring ke depan, jadi kalau duduk harus sambil menahan agar tidak melorot ke depan. Seperti pernah kuceritakan sebelumnya, pada umumnya jalan raya di Nepal tidak terlalu bagus, banyak yang tidak rata atau sudah rusak, sehingga sangat bumpy. Karenanya kakiku jadi sakit lagi akibat terlalu banyak menahan berat badan sepanjang perjalanan. Sementara tempat duduk suamiku awalnya baik-baik saja, namun setelah sandaran kursinya disetel malah jadi error. Sandaran kursinya jadi tegak sekali dan tombol yang dipakai untuk menyetel sandarannya tidak bisa berfungsi lagi. Selain itu, dari 2 buah USB plug yang tersedia, yang satunya sangat kendor saat dimasuki kabel, sehingga tidak bisa dipakai, sementara yang satunya lagi masih bisa dipakai untuk mengisi baterai walaupun agak longgar juga, tapi kalau kabelnya bergerak sedikit ya arus listriknya berhenti. Nepal oh Nepal....
Pada umumnya penumpang di dalam bus ini tidak ada yang berisik atau norak seperti bus yang terdahulu, walaupun tidak semuanya turis asing. Tampak ada beberapa orang Nepal juga yang naik bus ini. Kebanyakan memang turis asing, termasuk sekelompok turis asal RRC juga. Untungnya mereka tidak terlalu ribut selama perjalanan.
Baru sekitar 30 menit jalan, bus kami berhenti di sebuah pombensin yang tampak sudah tua dan usang. Sepertinya di Nepal segalanya tampak tua dan usang deh...
Agak lama juga bus berhenti untuk mengisi bahan bakar. Saat berhenti inilah seorang pramugari membagikan sarapan kepada semua penumpang. Isinya sandwich dan kentang goreng. Minumannya pun boleh memilih antara teh atau kopi. Kami memesan kopi dengan krim. Makanan ini datang pada saat yang tepat, karena perutku sudah mulai lapar hahahaha... Pramugari juga menawari surat kabar bagi yang mau membaca. Yang pasti tulisannya pakai bahasa Nepal sih...
Setelah berhenti sekitar 10 menit di pombensin, bus melanjutkan perjalanannya. Aku berusaha menyamankan diriku sebisa mungkin agar tidak terlalu lelah sesampainya nanti di Kathmandu, namun bantalan kursi yang melorot ini ternyata cukup menyiksa :(
Secara umum perjalanan naik VIP Bus ini cukup menyenangkan, tidak seperti waktu berangkat dari Kathmandu ke Pokhara yang tidak nyaman sepanjang jalan.
Karena jalan yang dilalui memang tidak terlalu lebar dan banyak tikungan atau tanjakan dan turunan, tetap saja sebenarnya bus ini tidak bisa ngebut. Hanya saja, aku perhatikan driver bus ini lebih nekat, bus kami banyak melewati kendaraan lain walaupun posisinya sebetulnya sulit. Dua orang pramugari dan seorang lagi pemuda (mungkin berfungsi sebagai kernet) duduk di bagian depan bus. Seperti cockpit di pesawat, bagian depan ini terpisah oleh sebuah pintu kaca. Sepertinya mereka sudah terbiasa dengan cara menyetir drivernya, terbukti walaupun ada saat-saat yang cukup menegangkan, mereka tampak biasa-biasa saja. Kita yang orang Indonesia dan sudah agak terbiasa dengan gaya menyetir koboi saja kadang masih berdebar-debar, entah bagaimana perasaan penumpang lain yang berasal dari negara maju, di mana lalu lintas relatif lebih teratur dan aturan lalu lintas ditaati.
Tepat jam 10 pagi, bus berhenti 5 menit di sebuah rest area untuk toilet break, dan setelah itu perjalanan dilanjutkan kembali. Seingatku, aku sempat tertidur sejenak, ketika bus berhenti untuk makan siang di Dalima Resort yang masuk dalam region Darechok.
Sesuai dengan harga tiket busnya, kami mendapatkan makan prasmanan di tempat ini, walaupun saat masuk ke restoran makanannya masih dalam proses disiapkan dan para penumpang bus harus menunggu sekitar 10 menit. Menunya apa lagi kalau bukan dal bhat, dengan nasi, kuah, ayam kari, tarkhari berisi kentang, kerupuk, plus chow mien, lalapan timun, dan cabe. Rasanya cukup oke, namun masih kalah dengan dal bhat buatan Suraj. Karena prasmanan, aku makan sebanyak yang perutku bisa menampung, bahkan sempat menambah chow mien, dan efeknya baru terasa beberapa waktu kemudian, di mana aku jadi kehausan. Sudah beberapa tahun terakhir ini aku memang agak sulit makan di luar, karena lidahku tidak bisa dibohongi. Apabila masakan yang disajikan menggunakan banyak penyedap atau vetsin, biasanya aku jadi kehausan sekali setelahnya.
Ruangan makan di sini sebetulnya cukup luas, namun ada bus lain yang ternyata juga singgah makan siang di tempat ini, jadi banyak orang yang harus berbagi meja dengan orang lain yang tidak dikenal. Usai makan, aku sempat menumpang ke toiletnya yang bersih dan modern.
Pemandangan dari resort ini juga cukup indah, dengan view perbukitan di depan mata. Namun demikian, di luar resort tampak banyak gundukan kerikil dan tanah yang membuat udara jadi berdebu.
Setelah istirahat makan selama 45 menit, bus bersiap untuk berangkat, dan setelah semua penumpang masuk, perjalanan panjang pun dilanjutkan kembali. Setelah itu masih ada toilet break lagi, dan sekitar 1 jam sebelum sampai, para penumpang ditawari minuman ringan dan kemudian permen. Not bad lah ya...
Sepanjang perjalanan, jalanan yang dilewati banyak sekali yang tampak berdebu dan kotor, bahkan ada daerah yang debunya sangat tebal sampai terlihat seperti kabut.
Memasuki kota Kathmandu, kemacetan mulai terjadi. Kendaraan tampak sangat padat dan saling berdesakan di jalanan. Di kanan kiri terlihat rumah-rumah dan toko-toko yang tampak kumuh dan usang. Banyak sekali warung-warung kecil di pinggir jalan. Tampak juga banyak pedagang kaki lima yang menjajakan makanan atau barang dagangan lain di tengah keramaian.
Banyak rumah di pinggiran kota yang atapnya hanya dari lembaran seng, lalu ditindih dengan batu-batu seadanya agar tidak terbang saat angin kencang. Di beberapa tempat tampak pembangunan jalan atau infrastruktur sedang dikerjakan, menambah macet dan kotornya keadaan sekitar. Bisa dibilang suasananya benar-benar chaos dan sangat tidak teratur. Cukup menyedihkan sebetulnya, dan menyaksikan keseharian penduduk di sini seringkali membuatku iba kepada mereka, sekaligus mensyukuri kehidupan kami yang lebih baik di negeri tercinta Indonesia.
Beberapa penumpang mulai turun semenjak memasuki Kathmandu, karenanya ada beberapa kursi yang kosong. Aku dan suamiku sempat bertukar tempat duduk setelah toilet break yang terakhir, dan setelah ada beberapa tempat duduk yang kosong, aku pun pindah ke tempat kosong tersebut supaya bisa duduk lebih nyaman dan bisa melihat suasana di luar dari sisi kiri.
Menjelang jam 4.30 sore, kami sampai di perhentian terakhir di Kathmandu di Durbar Marg, yang sepertinya merupakan lapangan parkir Hotel Annapurna. Para penumpang bergegas turun dari bus, kebanyakan langsung naik taxi untuk mencapai tujuan akhir mereka. Hanya ada 1-2 orang yang tampak berjalan kaki. Kami berdua pun memilih berjalan kaki, pertama karena lokasi hotel yang kami tuju hanya sekitar 1,5 KM, kedua untuk melemaskan kaki setelah 8 jam berada di dalam bus, dan ketiga tentunya untuk penghematan hehehehe....
Setelah berjam-jam duduk di dalam bus, rasanya lega sekali bisa berdiri dan melangkahkan kaki dengan bebas. Setelah mengambil semua bawaan kami dari bagasi bus, kami pun mulai berjalan kaki. Tujuan kami adalah Hotel Bright Star. Aku memesan kamar di hotel ini 2 hari sebelumnya, saat kami masih berada di rumah Suraj. Kami berdua memilih hotel ini di booking.com karena rating dan review yang cukup bagus, dan harganya cukup terjangkau, yaitu NRs 1,100 per malamnya. Kami hanya booking untuk satu malam saja, karena rencananya kalau kurang cocok kami akan mencari penginapan lain secara door to door. Rencananya sih ingin cari yang lebih murah dan tetap nyaman hehehehe...
Berjalan kaki melewati toko-toko di jalan besar, lalu memasuki jalan Tridevi Sadak, suasana touristy dan indahnya Thamel mulai terasa. Walaupun beban di pundak dan di tangan terasa sangat berat dan agak menyakitkan setelah hampir 2 minggu lebih banyak bersantai, aku senang sekali karena kami akan sampai di Thamel sebentar lagi.
Sempat satu kali suamiku memvideokan burung-burung yang beterbangan di langit, dan baru beberapa detik terdengar suara peluit dari polisi yang berjaga di sini. Katanya tidak boleh divideokan. Ternyata burung-burung tersebut adalah burung gagak, dan katanya tidak baik memotret atau memvideokan burung gagak, karena bisa membawa sial.
Setelah sekitar 15-20 menit berjalan kaki sambil dipandu Google Map, akhirnya sampailah kami di Hotel Bright Star. Bangunan hotel ini juga sudah tampak tua. Pemiliknya sepasang suami istri dengan 2 orang anak mereka yang masih kecil-kecil. Suaminya ramah sekali, namun istrinya agak sedikit ketus. Kami diantar menuju kamar kami yang terletak di lantai 3, jadi lagi-lagi harus naik tangga lagi.
Kamarnya sangat sederhana sekali dan cukup usang. Sebuah double bed dan dua buah meja kecil dengan satu televisi tabung di atasnya sudah membuat ruangan kamar ini cukup sesak. Untungnya kasurnya cukup nyaman, dengan selimut tebal yang bersih. Handuk disediakan hanya satu buah saja. Kamar mandinya juga agak sempit namun kondisinya terlihat bersih. Posisi kasurnya rapat ke dinding yang ada jendelanya, jadi untuk membuka atau menutup jendela harus naik kasur terlebih dahulu. Pemandangan di luar jendela adalah bangunan-bangunan bertingkat di sekitar hotel, yang kebanyakan sudah tampak tua. Suasananya sendiri bisa dibilang agak kumuh, bisa dibilang bukan pemandangan yang indah. Tapi secara keseluruhan kamarnya cukup lumayan lah...
Mencoba menyalakan air panasnya, ternyata airnya panas sekali, jadi kami segera mandi mumpung airnya masih panas. Badan jadi terasa lebih segar setelah mandi dengan air hangat.
Sekitar jam 5.30 petang, kami pun keluar dari hotel untuk mencari makan malam. Kami berjalan menyusuri jalan-jalan di Thamel yang sempit ini, sampai akhirnya menemukan sebuah restoran yang letaknya di dalam gang kecil. Nama tempatnya Chili's Restaurant & Tandoori House. Kali ini kami memang mencari tempat makan yang menyediakan hidangan khas Nepal, karena aku ingin makan momo. Kami tidak mencari tempat makan yang tampak fancy atau di jalan besar, karena biasanya harganya lebih mahal.
Momo adalah salah satu makanan khas Nepal selain dal bhat dan chow mien. Makanan ini aslinya berasal dari Tibet, dan karena penduduk Tibet yang banyak bermigrasi ke negara-negara tetangganya, maka makanan ini pun menjadi populer di negara-negara tersebut. Di Nepal sendiri, bumbu untuk membuat momo sudah mengalami beberapa perubahan dan disesuaikan dengan selera penduduk Nepal. Momo merupakan semacam dumpling yang dikukus, dengan berbagai macam isian, dan merupakan salah satu snack yang paling populer di Nepal saat ini. Dulunya momo hanya berisi daging saja, tapi seiring berjalannya waktu, kini momo bisa diisi apa saja, mulai sayur-mayur (terutama untuk vegetarian), keju, bahkan susu dan gula. Kalau di Indonesia, yang paling mirip dengan momo sepertinya siomay.
Di restoran ini, aku memesan momo goreng yang berisi sayuran (NRs 120), dan suamiku memesan chow mien dengan daging kerbau (NRs 160), ditambah secangkir black tea (NRs 25). Setelah menunggu selama 20 menit, makanan yang kami pesan pun siap dihidangkan. Momonya dihidangkan bersama kuah kari yang kental sekali, sedangkan untuk chow miennya diberi saus tomat secara terpisah. Saat aku minta cabe atau sambal, pelayannya memberikan saus sambal yang rasanya lebih mirip saus asam manis.
Secara keselurahan, rasanya cukup enak kok, hanya menurutku momonya lebih enak dimakan dengan saus daripada dengan kuah kari. Walaupun momo sebetulnya termasuk sncak, namun 10 buah momo yang dihidangkan membuatku kekenyangan. Porsi chow mien yang dipesan suamiku pun cukup berlimpah, cocok dimakan terutama jika sedang kelaparan seperti kami berdua hahahaha...
Usai makan malam, kami pun membayar di kasir, dan meninggalkan tempat ini, dan berjalan kaki untuk mencari-cari penginapan lain di daerah Thamel. Sebelumnya kami sudah sempat melihat-lihat di booking.com dan menemukan sebuah penginapan yang sepertinya cukup oke. Katanya bangunannya masih relatif baru direnovasi, jadi masih bersih dan termasuk modern. Harganya pun sedikit lebih murah daripada hotel kami sekarang. Jadilah kami berjalan menuju ke Khangsar Guesthouse di JP Marg.
Sesampai di lokasi, kami harus naik tangga untuk mencapai resepsionisnya. Sampai di lobby yang luas, tampak beberapa pemuda yang sedang berjaga di tempat ini, dan mereka menyambut kami berdua dengan baik dan ramah. Saat aku bertanya harga kamar di sini, si pemuda bertanya, ingin kamar yang seperti apa, dan kujawab yang paling murah saja. Setelah itu, kami diajak melihat terlebih dulu kamarnya. Kami diajak ke lantai 4 (ooohh... lagi-lagi naik tangga) dan ditunjukkan kamar yang tersedia. Jujur saja aku cukup terkesan dengan kamarnya. Ruangannya cukup luas, jauh lebih luas dibandingkan kamar kami sekarang. Kasurnya double bed, ditata seperti di hotel-hotel pada umumnya, dengan sprei dan sarung bantal yang putih bersih. Kamar mandinya pun bersih dan sudah modern. Toilet dan wastafelnya bahkan tampak masih baru. Dari luar kamar, di lorongnya, kita bisa melihat pemandangan kota di sekitar tempat ini. Secara umum tampaknya tempat ini menyenangkan sekali, dan utamanya tentu saja bersih dan nyaman, sesuai dengan kriteria kami.
Usai melihat kamar, kami diajak masuk ke ruangan manajernya atau pemiliknya yang masih muda, mungkin berusia sekitar 30 tahunan. Namanya Sanjay. Cukup lama kami berada di ruangan ini bersamanya dan bernegosiasi soal harga. Tadinya kami diberi harga NRs 1,500 per malamnya, lalu kuajukan keberatan karena aku bisa saja booking melalui aplikasi dan bisa membayar lebih murah. Intinya begini, guesthouse ini memang masih baru jalan beberapa bulan, dan baru saja direnovasi. Sanjay ingin kami booking kamar di sini melalui aplikasi Expedia, supaya kami bisa menulis review mengenai Khangsar Guesthouse ini di Expedia, karena reviewnya baru sedikit. Sementara di Booking.com atau Agoda, tempat ini sudah mendapat cukup banyak review. Sebagai imbalannya, Sanjay akan memberikan harga di bawah NRs 1,000 per malam. Setelah aku menginstall Expedia, ternyata harganya masih lebih mahal daripada harga yang aku peroleh di Booking.com. Setelah Sanjay mencoba mengutak-utik harga dan sebagainya, ujung-ujungnya proses booking di Expedia sendiri agak ribet. Akhirnya kami sepakat akan menginap di sana selama 3 malam dengan membayar tunai, dan mendapatkan harga sesuai dengan harga di Booking.com, yaitu NRs 1,050 per malamnya. Kami meninggalkan uang muka sebesar NRs 2,000 untuk membuktikan keseriusan kami menginap di tempat ini. Sanjay bahkan mengatakan kami boleh check-in jam berapa saja kami mau besok, bahkan pagi hari pun boleh.
Akhirnya beres masalah penginapan untuk 4 hari ke depan, jadi kami bisa dengan lega berjalan-jalan sembari menuju kembali ke Hotel Bright Star. Karena kami tidak mempunyai makanan untuk besok pagi, kami membeli roti di sebuah warung. Bentuknya seperti donat, tapi roti, dengan isian krim. Harganya hanya NRs 20, murah banget ya?
Setelah itu kami pun berjalan kembali ke hotel. Kami sampai sekitar jam 7.30 malam dan segera naik tangga dan masuk ke kamar. Seharian ini kami beberapa kali menerima pesan dari FB messenger dari teman-teman yang tinggal di Pokhara, yang pada umumnya mengucapkan perpisahan, selamat jalan, dan mengharapkan kami berkunjung lagi ke Nepal secepatnya hehehehe...
Setelah mencuci muka dan sikat gigi dengan air yang sudah hangat-hangat kuku, kami pun mengistirahatkan kaki dan badan yang sudah terasa lelah....
To be continued.......
Suamiku baru bangun sekitar jam 5 pagi. Kami pun bergantian mandi dengan air yang hangat-hangat kuku, namun aku sudah bersyukur karena tidak harus mandi dengan air yang sedingin es. Apabila pintu ke teras luar dibuka, terasa udara di luar yang cukup dingin menggigilkan tubuh.
Sekitar jam 6 pagi, kami berdua sudah selesai berkemas dan siap untuk berangkat, hanya tinggal menunggu waktu. Barang-barang sudah ditata semua ke dalam backpack. Matahari baru menampakkan sinarnya sekitar jam 6.15 pagi. Kami menunggu waktu sambil bersantai di kamar dan sesekali melihat atau memotret suasana di jalanan. Tampak cafe yang berada persis di seberang kamar kami sudah mulai buka sejak jam 6 pagi, padahal matahari belum lagi muncul, sementara toko-toko lain di sekitarnya masih tutup. Ternyata sepagi ini pun sudah ada satu dua orang yang tampak menikmati kopi paginya di cafe ini.
Baru sekitar jam 7.30 pagi, kami check-out dari tempat ini. Sepertinya belum ada tamu lain yang bangun. Kami sudah melunasi sisa pembayaran tadi malam, jadi pagi ini saat bertemu dengan pemiliknya di lantai dasar, kami tinggal berpamitan dan mengucapkan terima kasih saja.
Kami pun berjalan kaki menuju ke Hallan Chowk yang jaraknya hanya sekitar 400 meter saja. Jalanan masih tampak sangat sepi, hanya tampak beberapa kendaraan yang lewat. Toko-toko kebanyakan masih tutup, hanya beberapa cafe yang tampak sudah buka.
Saat tiba di Hallan Chowk, kami tidak tahu pastinya bus akan berhenti di mana. Tampak ada sebuah halte bus di tempat ini, jadi kami duduk dan menunggu di sana.
Setelah beberapa waktu menunggu, tampak sebuah liquor shop yang baru buka, jadi kami ke sana untuk membeli minuman, rokok, dan sekaligus bertanya kepada pemiliknya tempat menunggu tourist bus tujuan Kathmandu. Ternyata kami harus menyeberang jalan untuk menunggu bus tersebut. Kami masih duduk-duduk di halte sampai menjelang jam 8 pagi, baru kemudian menyeberang jalan dan menunggu di depan toko-toko yang masih tutup. Tidak lama kemudian datang seorang gadis muda yang menyeret kopernya, dan bertanya kepada kami benar tidaknya lokasi menunggu bus di sini, yang kami iyakan. Gadis ini berasal dari Australia, mungkin masih berusia sekitar 20 tahunan. Dari caranya berbicara dan bercerita, sepertinya dia agak arogan, jadi kami tidak terlalu lama mengobrol dengannya dan hanya mengiya-iyakan saja omongannya. Sementara itu, aku merasa ingin buang air kecil, jadi kudatangi liquor shop tadi untuk menumpang ke toilet, tapi ternyata di toko tersebut tidak ada toiletnya. Kata suamiku ada cafe yang sudah buka di balik perempatan jalan, maka aku pun setengah berlarian ke sana, karena waktu sudah menunjukkan jam 8.10 pagi.
Aku memesan secangkir kopi Americano seharga NRs 100, dan selagi pesananku dibuatkan, aku menumpang ke toiletnya. Selain cafe di luarnya, di dalamnya ternyata ada hotelnya juga. Toiletnya bersih dan sudah modern. Usai dari toilet, aku masih menunggu sebentar sampai kopinya selesai dibuat, dan usai membayar, aku berlarian menuju ke tempat menunggu bus tadi.
Belum lagi 5 menit, bus yang kami tunggu akhirnya datang juga. Barang-barang kami dimasukkan ke dalam bagasi di sisi belakang bus, kecuali backpackku yang aku bawa duduk bersamaku. Walaupun busnya sudah tampak agak usang, namun interior di dalamnya memang jauh berbeda dengan tourist bus yang kami naiki dari Kathmandu ke Pokhara. Tempat duduknyanya tampak jauh lebih mewah dan besar, seperti sofa, walaupun sudah tampak usang dan agak sedikit kotor. Tiap baris hanya berisi 3 tempat duduk saja, 2 di sisi kanan dan 1 di sisi kiri, dengan jarak antarbaris yang lumayan lapang. Sandaran tempat duduknya bisa disetel maju atau mundur, dan ada tempat untuk meletakkan gelas atau botol di sandaran tangannya. Sebuah botol air volume 1 liter sudah disediakan untuk tiap penumpang. Selain itu, ada 2 buah USB plug di samping kanan, jadi tidak perlu kuatir kehabisan baterai HP sepanjang perjalanan.
Setelah duduk, ada seorang pramugari yang mendata penumpang yang masuk. Tiap orang dicocokkan antara nama dengan tempat duduknya, tidak seperti bus yang terdahulu, agak asal-asalan saja dan penumpang seperti kurang dihargai. Selain kami, masih ada beberapa penumpang lain yang naik di sini.
Sekitar jam 8.25 pagi, bus mulai berangkat meninggalkan Hallan Chowk. Sejenak terbersit rasa sedih di hatiku karena harus meninggalkan Pokhara dan segala keindahannya.
Karena kali ini aku duduk di dekat jendela di sisi kanan, aku bisa mendokumentasikan perjalanan kali ini dengan lebih baik. Cukup banyak foto dan video yang kuambil sepanjang perjalanan.
Hanya satu hal yang membuatku kurang nyaman sepanjang perjalanan panjang ini. Ternyata tempat dudukku ini posisinya agak miring ke depan, jadi kalau duduk harus sambil menahan agar tidak melorot ke depan. Seperti pernah kuceritakan sebelumnya, pada umumnya jalan raya di Nepal tidak terlalu bagus, banyak yang tidak rata atau sudah rusak, sehingga sangat bumpy. Karenanya kakiku jadi sakit lagi akibat terlalu banyak menahan berat badan sepanjang perjalanan. Sementara tempat duduk suamiku awalnya baik-baik saja, namun setelah sandaran kursinya disetel malah jadi error. Sandaran kursinya jadi tegak sekali dan tombol yang dipakai untuk menyetel sandarannya tidak bisa berfungsi lagi. Selain itu, dari 2 buah USB plug yang tersedia, yang satunya sangat kendor saat dimasuki kabel, sehingga tidak bisa dipakai, sementara yang satunya lagi masih bisa dipakai untuk mengisi baterai walaupun agak longgar juga, tapi kalau kabelnya bergerak sedikit ya arus listriknya berhenti. Nepal oh Nepal....
Pada umumnya penumpang di dalam bus ini tidak ada yang berisik atau norak seperti bus yang terdahulu, walaupun tidak semuanya turis asing. Tampak ada beberapa orang Nepal juga yang naik bus ini. Kebanyakan memang turis asing, termasuk sekelompok turis asal RRC juga. Untungnya mereka tidak terlalu ribut selama perjalanan.
Baru sekitar 30 menit jalan, bus kami berhenti di sebuah pombensin yang tampak sudah tua dan usang. Sepertinya di Nepal segalanya tampak tua dan usang deh...
Agak lama juga bus berhenti untuk mengisi bahan bakar. Saat berhenti inilah seorang pramugari membagikan sarapan kepada semua penumpang. Isinya sandwich dan kentang goreng. Minumannya pun boleh memilih antara teh atau kopi. Kami memesan kopi dengan krim. Makanan ini datang pada saat yang tepat, karena perutku sudah mulai lapar hahahaha... Pramugari juga menawari surat kabar bagi yang mau membaca. Yang pasti tulisannya pakai bahasa Nepal sih...
Setelah berhenti sekitar 10 menit di pombensin, bus melanjutkan perjalanannya. Aku berusaha menyamankan diriku sebisa mungkin agar tidak terlalu lelah sesampainya nanti di Kathmandu, namun bantalan kursi yang melorot ini ternyata cukup menyiksa :(
Secara umum perjalanan naik VIP Bus ini cukup menyenangkan, tidak seperti waktu berangkat dari Kathmandu ke Pokhara yang tidak nyaman sepanjang jalan.
Karena jalan yang dilalui memang tidak terlalu lebar dan banyak tikungan atau tanjakan dan turunan, tetap saja sebenarnya bus ini tidak bisa ngebut. Hanya saja, aku perhatikan driver bus ini lebih nekat, bus kami banyak melewati kendaraan lain walaupun posisinya sebetulnya sulit. Dua orang pramugari dan seorang lagi pemuda (mungkin berfungsi sebagai kernet) duduk di bagian depan bus. Seperti cockpit di pesawat, bagian depan ini terpisah oleh sebuah pintu kaca. Sepertinya mereka sudah terbiasa dengan cara menyetir drivernya, terbukti walaupun ada saat-saat yang cukup menegangkan, mereka tampak biasa-biasa saja. Kita yang orang Indonesia dan sudah agak terbiasa dengan gaya menyetir koboi saja kadang masih berdebar-debar, entah bagaimana perasaan penumpang lain yang berasal dari negara maju, di mana lalu lintas relatif lebih teratur dan aturan lalu lintas ditaati.
Tepat jam 10 pagi, bus berhenti 5 menit di sebuah rest area untuk toilet break, dan setelah itu perjalanan dilanjutkan kembali. Seingatku, aku sempat tertidur sejenak, ketika bus berhenti untuk makan siang di Dalima Resort yang masuk dalam region Darechok.
Sesuai dengan harga tiket busnya, kami mendapatkan makan prasmanan di tempat ini, walaupun saat masuk ke restoran makanannya masih dalam proses disiapkan dan para penumpang bus harus menunggu sekitar 10 menit. Menunya apa lagi kalau bukan dal bhat, dengan nasi, kuah, ayam kari, tarkhari berisi kentang, kerupuk, plus chow mien, lalapan timun, dan cabe. Rasanya cukup oke, namun masih kalah dengan dal bhat buatan Suraj. Karena prasmanan, aku makan sebanyak yang perutku bisa menampung, bahkan sempat menambah chow mien, dan efeknya baru terasa beberapa waktu kemudian, di mana aku jadi kehausan. Sudah beberapa tahun terakhir ini aku memang agak sulit makan di luar, karena lidahku tidak bisa dibohongi. Apabila masakan yang disajikan menggunakan banyak penyedap atau vetsin, biasanya aku jadi kehausan sekali setelahnya.
Ruangan makan di sini sebetulnya cukup luas, namun ada bus lain yang ternyata juga singgah makan siang di tempat ini, jadi banyak orang yang harus berbagi meja dengan orang lain yang tidak dikenal. Usai makan, aku sempat menumpang ke toiletnya yang bersih dan modern.
Pemandangan dari resort ini juga cukup indah, dengan view perbukitan di depan mata. Namun demikian, di luar resort tampak banyak gundukan kerikil dan tanah yang membuat udara jadi berdebu.
Setelah istirahat makan selama 45 menit, bus bersiap untuk berangkat, dan setelah semua penumpang masuk, perjalanan panjang pun dilanjutkan kembali. Setelah itu masih ada toilet break lagi, dan sekitar 1 jam sebelum sampai, para penumpang ditawari minuman ringan dan kemudian permen. Not bad lah ya...
Sepanjang perjalanan, jalanan yang dilewati banyak sekali yang tampak berdebu dan kotor, bahkan ada daerah yang debunya sangat tebal sampai terlihat seperti kabut.
Memasuki kota Kathmandu, kemacetan mulai terjadi. Kendaraan tampak sangat padat dan saling berdesakan di jalanan. Di kanan kiri terlihat rumah-rumah dan toko-toko yang tampak kumuh dan usang. Banyak sekali warung-warung kecil di pinggir jalan. Tampak juga banyak pedagang kaki lima yang menjajakan makanan atau barang dagangan lain di tengah keramaian.
Banyak rumah di pinggiran kota yang atapnya hanya dari lembaran seng, lalu ditindih dengan batu-batu seadanya agar tidak terbang saat angin kencang. Di beberapa tempat tampak pembangunan jalan atau infrastruktur sedang dikerjakan, menambah macet dan kotornya keadaan sekitar. Bisa dibilang suasananya benar-benar chaos dan sangat tidak teratur. Cukup menyedihkan sebetulnya, dan menyaksikan keseharian penduduk di sini seringkali membuatku iba kepada mereka, sekaligus mensyukuri kehidupan kami yang lebih baik di negeri tercinta Indonesia.
Beberapa penumpang mulai turun semenjak memasuki Kathmandu, karenanya ada beberapa kursi yang kosong. Aku dan suamiku sempat bertukar tempat duduk setelah toilet break yang terakhir, dan setelah ada beberapa tempat duduk yang kosong, aku pun pindah ke tempat kosong tersebut supaya bisa duduk lebih nyaman dan bisa melihat suasana di luar dari sisi kiri.
Menjelang jam 4.30 sore, kami sampai di perhentian terakhir di Kathmandu di Durbar Marg, yang sepertinya merupakan lapangan parkir Hotel Annapurna. Para penumpang bergegas turun dari bus, kebanyakan langsung naik taxi untuk mencapai tujuan akhir mereka. Hanya ada 1-2 orang yang tampak berjalan kaki. Kami berdua pun memilih berjalan kaki, pertama karena lokasi hotel yang kami tuju hanya sekitar 1,5 KM, kedua untuk melemaskan kaki setelah 8 jam berada di dalam bus, dan ketiga tentunya untuk penghematan hehehehe....
Setelah berjam-jam duduk di dalam bus, rasanya lega sekali bisa berdiri dan melangkahkan kaki dengan bebas. Setelah mengambil semua bawaan kami dari bagasi bus, kami pun mulai berjalan kaki. Tujuan kami adalah Hotel Bright Star. Aku memesan kamar di hotel ini 2 hari sebelumnya, saat kami masih berada di rumah Suraj. Kami berdua memilih hotel ini di booking.com karena rating dan review yang cukup bagus, dan harganya cukup terjangkau, yaitu NRs 1,100 per malamnya. Kami hanya booking untuk satu malam saja, karena rencananya kalau kurang cocok kami akan mencari penginapan lain secara door to door. Rencananya sih ingin cari yang lebih murah dan tetap nyaman hehehehe...
Berjalan kaki melewati toko-toko di jalan besar, lalu memasuki jalan Tridevi Sadak, suasana touristy dan indahnya Thamel mulai terasa. Walaupun beban di pundak dan di tangan terasa sangat berat dan agak menyakitkan setelah hampir 2 minggu lebih banyak bersantai, aku senang sekali karena kami akan sampai di Thamel sebentar lagi.
Sempat satu kali suamiku memvideokan burung-burung yang beterbangan di langit, dan baru beberapa detik terdengar suara peluit dari polisi yang berjaga di sini. Katanya tidak boleh divideokan. Ternyata burung-burung tersebut adalah burung gagak, dan katanya tidak baik memotret atau memvideokan burung gagak, karena bisa membawa sial.
Setelah sekitar 15-20 menit berjalan kaki sambil dipandu Google Map, akhirnya sampailah kami di Hotel Bright Star. Bangunan hotel ini juga sudah tampak tua. Pemiliknya sepasang suami istri dengan 2 orang anak mereka yang masih kecil-kecil. Suaminya ramah sekali, namun istrinya agak sedikit ketus. Kami diantar menuju kamar kami yang terletak di lantai 3, jadi lagi-lagi harus naik tangga lagi.
Kamarnya sangat sederhana sekali dan cukup usang. Sebuah double bed dan dua buah meja kecil dengan satu televisi tabung di atasnya sudah membuat ruangan kamar ini cukup sesak. Untungnya kasurnya cukup nyaman, dengan selimut tebal yang bersih. Handuk disediakan hanya satu buah saja. Kamar mandinya juga agak sempit namun kondisinya terlihat bersih. Posisi kasurnya rapat ke dinding yang ada jendelanya, jadi untuk membuka atau menutup jendela harus naik kasur terlebih dahulu. Pemandangan di luar jendela adalah bangunan-bangunan bertingkat di sekitar hotel, yang kebanyakan sudah tampak tua. Suasananya sendiri bisa dibilang agak kumuh, bisa dibilang bukan pemandangan yang indah. Tapi secara keseluruhan kamarnya cukup lumayan lah...
Mencoba menyalakan air panasnya, ternyata airnya panas sekali, jadi kami segera mandi mumpung airnya masih panas. Badan jadi terasa lebih segar setelah mandi dengan air hangat.
Sekitar jam 5.30 petang, kami pun keluar dari hotel untuk mencari makan malam. Kami berjalan menyusuri jalan-jalan di Thamel yang sempit ini, sampai akhirnya menemukan sebuah restoran yang letaknya di dalam gang kecil. Nama tempatnya Chili's Restaurant & Tandoori House. Kali ini kami memang mencari tempat makan yang menyediakan hidangan khas Nepal, karena aku ingin makan momo. Kami tidak mencari tempat makan yang tampak fancy atau di jalan besar, karena biasanya harganya lebih mahal.
Momo adalah salah satu makanan khas Nepal selain dal bhat dan chow mien. Makanan ini aslinya berasal dari Tibet, dan karena penduduk Tibet yang banyak bermigrasi ke negara-negara tetangganya, maka makanan ini pun menjadi populer di negara-negara tersebut. Di Nepal sendiri, bumbu untuk membuat momo sudah mengalami beberapa perubahan dan disesuaikan dengan selera penduduk Nepal. Momo merupakan semacam dumpling yang dikukus, dengan berbagai macam isian, dan merupakan salah satu snack yang paling populer di Nepal saat ini. Dulunya momo hanya berisi daging saja, tapi seiring berjalannya waktu, kini momo bisa diisi apa saja, mulai sayur-mayur (terutama untuk vegetarian), keju, bahkan susu dan gula. Kalau di Indonesia, yang paling mirip dengan momo sepertinya siomay.
Di restoran ini, aku memesan momo goreng yang berisi sayuran (NRs 120), dan suamiku memesan chow mien dengan daging kerbau (NRs 160), ditambah secangkir black tea (NRs 25). Setelah menunggu selama 20 menit, makanan yang kami pesan pun siap dihidangkan. Momonya dihidangkan bersama kuah kari yang kental sekali, sedangkan untuk chow miennya diberi saus tomat secara terpisah. Saat aku minta cabe atau sambal, pelayannya memberikan saus sambal yang rasanya lebih mirip saus asam manis.
Secara keselurahan, rasanya cukup enak kok, hanya menurutku momonya lebih enak dimakan dengan saus daripada dengan kuah kari. Walaupun momo sebetulnya termasuk sncak, namun 10 buah momo yang dihidangkan membuatku kekenyangan. Porsi chow mien yang dipesan suamiku pun cukup berlimpah, cocok dimakan terutama jika sedang kelaparan seperti kami berdua hahahaha...
Usai makan malam, kami pun membayar di kasir, dan meninggalkan tempat ini, dan berjalan kaki untuk mencari-cari penginapan lain di daerah Thamel. Sebelumnya kami sudah sempat melihat-lihat di booking.com dan menemukan sebuah penginapan yang sepertinya cukup oke. Katanya bangunannya masih relatif baru direnovasi, jadi masih bersih dan termasuk modern. Harganya pun sedikit lebih murah daripada hotel kami sekarang. Jadilah kami berjalan menuju ke Khangsar Guesthouse di JP Marg.
Sesampai di lokasi, kami harus naik tangga untuk mencapai resepsionisnya. Sampai di lobby yang luas, tampak beberapa pemuda yang sedang berjaga di tempat ini, dan mereka menyambut kami berdua dengan baik dan ramah. Saat aku bertanya harga kamar di sini, si pemuda bertanya, ingin kamar yang seperti apa, dan kujawab yang paling murah saja. Setelah itu, kami diajak melihat terlebih dulu kamarnya. Kami diajak ke lantai 4 (ooohh... lagi-lagi naik tangga) dan ditunjukkan kamar yang tersedia. Jujur saja aku cukup terkesan dengan kamarnya. Ruangannya cukup luas, jauh lebih luas dibandingkan kamar kami sekarang. Kasurnya double bed, ditata seperti di hotel-hotel pada umumnya, dengan sprei dan sarung bantal yang putih bersih. Kamar mandinya pun bersih dan sudah modern. Toilet dan wastafelnya bahkan tampak masih baru. Dari luar kamar, di lorongnya, kita bisa melihat pemandangan kota di sekitar tempat ini. Secara umum tampaknya tempat ini menyenangkan sekali, dan utamanya tentu saja bersih dan nyaman, sesuai dengan kriteria kami.
Usai melihat kamar, kami diajak masuk ke ruangan manajernya atau pemiliknya yang masih muda, mungkin berusia sekitar 30 tahunan. Namanya Sanjay. Cukup lama kami berada di ruangan ini bersamanya dan bernegosiasi soal harga. Tadinya kami diberi harga NRs 1,500 per malamnya, lalu kuajukan keberatan karena aku bisa saja booking melalui aplikasi dan bisa membayar lebih murah. Intinya begini, guesthouse ini memang masih baru jalan beberapa bulan, dan baru saja direnovasi. Sanjay ingin kami booking kamar di sini melalui aplikasi Expedia, supaya kami bisa menulis review mengenai Khangsar Guesthouse ini di Expedia, karena reviewnya baru sedikit. Sementara di Booking.com atau Agoda, tempat ini sudah mendapat cukup banyak review. Sebagai imbalannya, Sanjay akan memberikan harga di bawah NRs 1,000 per malam. Setelah aku menginstall Expedia, ternyata harganya masih lebih mahal daripada harga yang aku peroleh di Booking.com. Setelah Sanjay mencoba mengutak-utik harga dan sebagainya, ujung-ujungnya proses booking di Expedia sendiri agak ribet. Akhirnya kami sepakat akan menginap di sana selama 3 malam dengan membayar tunai, dan mendapatkan harga sesuai dengan harga di Booking.com, yaitu NRs 1,050 per malamnya. Kami meninggalkan uang muka sebesar NRs 2,000 untuk membuktikan keseriusan kami menginap di tempat ini. Sanjay bahkan mengatakan kami boleh check-in jam berapa saja kami mau besok, bahkan pagi hari pun boleh.
Akhirnya beres masalah penginapan untuk 4 hari ke depan, jadi kami bisa dengan lega berjalan-jalan sembari menuju kembali ke Hotel Bright Star. Karena kami tidak mempunyai makanan untuk besok pagi, kami membeli roti di sebuah warung. Bentuknya seperti donat, tapi roti, dengan isian krim. Harganya hanya NRs 20, murah banget ya?
Setelah itu kami pun berjalan kembali ke hotel. Kami sampai sekitar jam 7.30 malam dan segera naik tangga dan masuk ke kamar. Seharian ini kami beberapa kali menerima pesan dari FB messenger dari teman-teman yang tinggal di Pokhara, yang pada umumnya mengucapkan perpisahan, selamat jalan, dan mengharapkan kami berkunjung lagi ke Nepal secepatnya hehehehe...
Setelah mencuci muka dan sikat gigi dengan air yang sudah hangat-hangat kuku, kami pun mengistirahatkan kaki dan badan yang sudah terasa lelah....
To be continued.......
No comments:
Post a Comment