DISCLAIMER

BLOG ini adalah karya pribadiku. Semua cerita di blog ini benar-benar terjadi dan merupakan pengalaman pribadiku. Referensi dan informasi umum aku ambil dari internet (misalnya wikipedia, google map, dan lain-lain).

SEMUA FOTO dan VIDEO yang ada di blog ini adalah karya pribadiku, suamiku, atau putriku, baik menggunakan kamera DSLR maupun smartphone. Jika ada yang bukan karya pribadi, akan disebutkan sumbernya.

Karena itu mohon untuk TIDAK menggunakan/mengcopy/mengedit isi cerita dan foto-foto yang ada di blog ini dan memanfaatkannya untuk keperluan komersial/umum tanpa ijin tertulis dariku.
Jika ingin mengcopy-paste isi maupun foto yang ada di blog ini untuk keperluan pribadi, diharapkan menyebutkan sumber dan link asal.

"JANGAN ASAL COPY-PASTE karena BLOG JUGA ADALAH HASIL KARYA CIPTA. Biasakan untuk meminta ijin kepada pemilik karya atau paling tidak menyebutkan sumber asal."

Saturday, January 20, 2018

NEPAL BACKPACKING, NOVEMBER 2017 (15) - LIFE IN POKHARA


14 - 24 November 2017


Selama 11 malam, dari tanggal 13 sampai 24 November 2017, kami menginap di Chautari Pokhara yang dikelola oleh Suraj, dan malam terakhir di Pokhara kami bermalam di sebuah guesthouse di tepi Lakeside Road.
Kasur di Chautari bisa dibilang sangat-sangat keras (walaupun tidurnya sudah memakai sleeping bag), dan setiap pagi hari selalu ada air yang menetes di dalam kamar. Tetesan air ini berasal dari atap yang terbuat dari seng. Saking dinginnya udara di malam hari, sengnya sampai mengembun, sehingga pagi harinya embun inilah yang menetes membasahi lantai kamar, bahkan menetes di kasur juga. Kamarnya sendiri hanya berlantai tanah liat keras, dengan beberapa bagian yang agak lembab.



Kamar mandi dan toilet yang masing-masing hanya satu pun sebetulnya kurang layak dan tidak cukup bersih menurut standarku. Kalau mau keramas, sikat gigi, cuci muka, cuci baju dan cuci perabotan dapur harus dilakukan di pancuran.




Dapur yang sangat ala kadarnya, jauh berbeda dengan dapur di rumah kami yang walaupun sederhana tapi nyaman dan cukup modern dengan peralatan masak yang memadai.



Sebetulnya secara keseluruhan memang kurang nyaman, namun selain karena murah, pertimbangan kami menginap di sini memang lebih karena ingin membantu Suraj. Dan aku selalu teringat salah satu istilah suamiku mengenai "keluar dari zona nyaman".
Aku selalu berpikir, kami ditempatkan dalam suatu keadaan oleh Tuhan, pasti ada maksudnya. Sementara itu, aku pernah mengatakan kepada suamiku bahwa salah satu impianku di masa mendatang (kalau memungkinkan) adalah travelling sambil menjadi volunteer di mana pun kami bisa. Maka kupikir, berada di Chautari adalah bagian dari mewujudkan impian tersebut.

Pada umumnya, setiap hari suhu udara cukup dingin, termasuk siang hari. Kalau pagi suhunya bisa mencapai sekitar 7 derajat Celcius bahkan kurang, sedangkan kalau siang hari suhunya belasan. Jadi walaupun matahari bersinar terik, tapi kalau kita tidak terkena sinarnya akan tetap terasa cukup dingin hehehehe...



14 November 2017


Sepanjang yang kuingat, aku tertidur dengan pulas semalaman dan baru terjaga sekitar jam 5.30 pagi, saat aku mendengar suara-suara di luar kamar, sepertinya Suraj dkk sedang bersiap-siap untuk pergi ke Sarangkot. Aku berusaha untuk tidur lagi, dan baru benar-benar bangun jam 7 pagi.


Kegiatanku setengah harian ini adalah bersih-bersih. Maunya sih istirahat total, tapi ya begitulah, aku tidak bisa duduk diam begitu saja tanpa melakukan apa pun kalau melihat masih ada yang bisa dilakukan. Mencuci baju, mencuci piring dan perabotan semalam, membersihkan dan merapikan dapur, dan merapikan kamar yang sedari kemarin masih berantakan. Suamiku pun bersih-bersih di halaman, memperbaiki yang bisa diperbaiki, dan melakukan apa saja yang bisa dilakukan untuk membuat tempat ini lebih baik dan nyaman. Kami baru sarapan jam 9 pagi, apalagi kalau bukan indomie ^_^




Kami baru mandi tengah hari, jam 12 siang, dan setelah itu baru agak santai. 
Udara cukup dingin semenjak pagi hari, dan hari ini aku positif batuk pilek berat. Kakiku yang kiri juga tampak bengkak sekali. Untuk melipat kaki apalagi berjongkok rasanya sakit, tapi paling sakit adalah saat berusaha berdiri setelahnya.
PS: sandal jepit yang kupakai adalah milik Suraj, yang sebetulnya sudah putus tapi tetap dipakainya setiap hari.



Sempat ada seorang pemuda yang tampaknya berusia hampir 30 tahun datang dan menawarkan dagangannya, yaitu donat. Satu kantung plastik berisi 12 donat ukuran tanggung, dan harganya hanya NRs 120. Karena iba, kami membeli satu kantung darinya, dan ternyata rasanya lumayan enak juga.


Suraj dan yang lainnya baru pulang dari Sarangkot sekitar jam 1 siang, dan setelah itu mereka semua beristirahat. Sementara itu, Rohit mengontakku lewat FB messenger, dan katanya mau datang bertemu dengan kami sekitar jam 3.30 sore, jadi aku memintanya datang ke Freedom Cafe di Lakeside, dan kami berdua akan menjemputnya di sana. Katanya dia akan datang bersama adiknya.




Sekitar jam 2.30 siang, kami sudah berangkat untuk menuju ke Lakeside Road, karena akan membeli susu terlebih dahulu. Ternyata untuk berjalan di batu-batuan kakiku juga masih sakit, jadi tidak bisa secepat biasanya. Belum lagi jam 3 siang, Rohit SMS dan mengatakan sudah berada di Freedom Cafe. Cepat sekali! Kami pun buru-buru jalan agar mereka berdua tidak terlalu lama menunggu. Setelah bertemu, aku minta suamiku menemani mereka berdua dan nongkrong dulu di salah satu cafe yang berjejer di tempat ini, sementara aku akan membeli susu dan daging ayam.


Aku berjalan ngebut sekali, mencari toko yang menjual susu. Setelah membeli susu sapi seharga NRs 45, aku mampir ke sebuah warung yang menjual daging ayam. Di sini para penjual daging agak berbeda dengan di Indonesia. Mereka menyimpan semua daging yang mereka jual di dalam sebiah chest freezer, dan saaat ada orang yang akan membeli, barulah penjualnya memanaskan dagingnya dengan api seperti milik tukang las kalau di Indonesia, supaya tidak beku. Aku hanya membeli 1/2 kg saja, karena tidak ada lemari es di Chautari.




Setelah itu aku bergegas kembali ke tempat suamiku menunggu, dan kami berempat pun berjalan kaki menuju Chautari. Saat kami sampai, tidak ada orang di rumah, sepertinya yang lainnya juga sedang jalan-jalan di Lakeside, hanya saja tidak berpapasan.

Kami mengobrol dengan Rohit dan adiknya, Azis, yang baru berusia 15 tahun. Kata Rohit, Azis bercita-cita ingin menjadi guide seperti ayah mereka. Walaupun saudara sekandung, wajah mereka berdua tampak jauh berbeda.



Aku menyempatkan masak nasi goreng untuk Rohit, Azis, dan suamiku, karena aku berjanji akan memasakkan sesuatu untuk mereka. Tampaknya mereka berdua suka makan nasi goreng ala Indonesia, terbukti makannya banyak hehehehe...

Mereka berdua pulang sekitar jam 5.15 sore karena takut tidak mendapatkan bus untuk pulang. Mereka tinggal di dekat Devi's Falls, sebuah air terjun yang cukup populer di Pokhara.

Suraj dan yang lainnya baru pulang sore hari, dan sore ini pula kami kedatangan seorang tamu baru. Namanya Cyp, dan dia berasal dari Perancis. Orangnya ceria dan agak nyentrik. Pada saat datang, dia mengenakan topi dengan hiasan bulu-bulu unggas yang lucu.


Untuk malam hari, aku memasakkan lagi nasi goreng untuk semuanya. Yang lucu, Cyp makan nasi gorengnya dengan sisa donat yang ada. Apa tidak aneh ya rasanya? Hehehehe... Usai makan, Suraj dan kedua temannya mengumpulkan kayu dan membuat api unggun. Menyenangkan sekali, menghangatkan diri di depan api unggun di malam yang dingin ini.


 

Karena aku benar-benar lelah, tidak lama setelah api unggun padam, aku berpamitan untuk istirahat lebih dulu, dan rasanya aku langsung tidur begitu menyentuh kasur dan masuk ke dalam sleeping bag....




15 November 2017


Hari ini aku sudah mulai bangun pagi lagi, melakukan rutinitas ibu rumah tangga di tempat ini. Mencuci piring dan perabotan masak, mencuci baju, dan bersih-bersih dapur. Suamiku membuatkan tempat-tempat untuk meletakkan sikat gigi dan sabun, yang biasanya hanya diletakkan begitu saja di atas batu.

Kecuali kami berdua, rata-rata penghuni lainnya di tempat ini pada umumnya bangun agak siang setiap harinya, antara jam 8-10 pagi, kecuali jika hendak pergi pagi-pagi ke suatu tempat. Untuk sarapan, Suraj membuatkan sup sayuran untuk kami semua. Supnya kurang lebih sama dengan sup di Indonesia. Yang lainnya makan dengan roti, hanya aku dan suamiku yang tidak bisa hahahaha....



Selesai sarapan yang kesiangan, kami masih mengobrol, bersantai, bahkan sempat main hula hop. Setelah itu kami semua kerja bakti membersihkan kebun yang luas di depan rumah. Membuangi rumput liar dan sampah-sampah lainnya, serta mengumpulkan kayu-kayu dari batang pohon untuk persediaan kayu bakar membuat api unggun. Aku hanya membantu sebentar saja, karena kakiku masih sangat sakit untuk berlama-lama dalam posisi jongkok.

Si penjual donat hari ini datang lagi, jadi kubeli lagi satu kantung plastik untuk dimakan bersama.



Hari ini Suraj berjanji akan mengantar kami berdua ke tempat yang menjual sandal jepit, ember dan gayung. Menjelang jam 3 siang, Suraj bersama kedua temannya dan kami berdua jalan kaki menuju ke jalan besar. Ternyata toko yang dimaksud letaknya di seberang warung dan penjual sayur yang sudah beberapa kali kami datangi.


Aku membeli sepasang sandal jepit (yang kekecilan, karena hanya ada ukuran agak kecil), susu, mie instan, dan bubuk cabe. Suraj juga sekalian kusuruh belanja apa saja yang dia perlukan, seperti minyak goreng, telur, dan bahan makanan lainnya. Untuk ember dan gayung katanya harus menunggu dipesankan dulu.


Dari warung tersebut, Suraj dan kedua temannya melanjutkan jalan-jalan ke Phewa Lake, sedangkan kami kembali ke Chautari. Sore hari dihabiskan dengan mengobrol bersama Cyp, David dan Nadia.




Karena udara makin dingin, Suraj membuat api unggun lagi malam ini, dari kayu-kayu yang sudah dikumpulkan siang harinya. Suasananya hangat dan menyenangkan. Untuk makan malam, Suraj memasakkan kami dal bhat dengan tarkhari dari kentang dan buncis, serta acar yang terbuat dari irisan timun, tomat, dan wortel. Karena suamiku tidak suka makan dal bhat, setiap kali Suraj masak dal bhat, aku akan membuatkan telur dadar untuk suamiku, dan dia hanya makan nasi putih dengan telur dadar ini saja. Jam 8 malam kami makan bersama. Dal bhat yang dihidangkan enak sekali, dan lagi-lagi aku sampai menambah nasi dan sayurnya ^_^


 


Malam itu pun aku tidur awal seperti biasanya, karena lelah dan kekenyangan.




16 November 2017


Hari ini, Suraj dan yang lainnya pergi ke World Peace Pagoda setelah sarapan hingga sore hari. World Peace Pagoda atau Shanti Stupa Pokhara adalah sebuah kuil Budha yang berada di puncak bukit di seberang Phewa Lake. Kalau cuaca cerah, puncak kuil ini bisa tampak dari Chautari, dan merupakan salah satu dari 2 dataran tinggi di mana kita bisa melihat pemandangan yang sangat indah. Yang satunya lagi, tentu saja Sarangkot.




Hari ini, Symon mengirim pesan bahwa dia akan mengunjungi kami sekitar jam 1 siang, karenanya sekitar jam 10.30 siang kami berangkat dari Chautari, karena masih ada keperluan untuk belanja barang-barang. Kami pergi ke Lakeside dan sedikit masuk ke jalan-jalan di sekitarnya. Ke supermarket untuk belanja snack dan whisky, lalu membeli paku untuk membuat gantungan-gantungan baju di kamar dan di ruang mandi. Sempat pula mampir di sebuah warung makan untuk minum kopi dan membeli makanan lokal, yaitu samosa dan pani puri. Pulangnya kami membeli beberapa macam sayuran untuk masak.




Belum lagi jam 12.30 siang, saat kami sedang menuju ke arah Freedom Cafe, tempat biasanya kami menjemput teman yang akan berkunjung, Symon memanggil kami dari belakang. Rupayanya dia sudah sampai di Lakeside baru saja.

Maka kami berjalan kembali menuju Chautari, dan aku segera memasakkan nasi goreng untuk Symon dan suamiku makan siang.

Symon bercerita bahwa selain untuk mengunjungi kami, dia pergi ke Lakeside untuk melamar pekerjaan sebagai waiter di sebuah restoran, karenanya dia tidak bisa terlalu lama berada di Chautari. Menurutnya, mencari pekerjaan di Nepal sangat susah, dan seandainya dapat pun, kadang upah yang didapatkan tidak sepadan. Saat kami tanya mengenai pekerjaannya sebagai porter, dia menjawab sebenarnya tidak suka jadi porter, hanya karena terpaksa saja dia melakukannya saat ke ABC kemarin.


Symon berpamitan kepada kami sekitar jam 1.15 siang, dan belakangan dia memberi kabar bahwa restoran tempatnya melamar kerja sebetulnya menerima dia bekerja, namun dengan gaji yang kecil, hanya NRs 5,000 (sekitar Rp 650.000,-) per bulan, dan dia tidak mendapatkan akomodasi. Biasanya untuk yang rumahnya jauh disediakan tempat tinggal, sehingga tentunya bisa menghemat pengeluaran. Karena itu kemudian Symon tidak jadi bekerja di restoran tersebut.


Aku sempat diajak jalan-jalan ke arah sumber air di belakang rumah oleh suamiku. Jalannya memang berbatu, berkerikil, dan banyak yang basah atau becek.




Sore harinya, membantu Suraj menyiapkan sayur-mayur untuk masak, dan seperti kemarinnya, Suraj membuatkan dal bhat untuk kami makan bersama. Sementara Cyp membuatkan dessert dari es krim, selai kacang, dan pisang yang digoreng sampai kehitaman. Walaupun tampak seperti pisang gosong, ternyata rasanya tetap enak lho ^_^





17 November 2017


Pagi ini, Suraj membuatkan sarapan berupa Tibetan bread dan telur orak-arik. Tibetan bread ini mirip paratha, dan membuatnya relatif mudah, serta mengenyangkan.

Sarapan pagi ini sangat mewah, dengan adanya Tibetan bread, telur, sementara Cyp menyiapkan energy balls yang dia beli sehari sebelumnya, dan David mengupas jeruk untuk hidangan penutup. Wah, benar-benar sangat mengenyangkan. Energy balls yang dibeli Cyp ini ternyata merupakan salah satu hidangan penutup di Nepal, biasanya disebut tilko laddu (sesame balls).



Seharian kami lebih banyak bersantai. Aku merasa selama di Chautari ini kegiatanku lebih banyak makan tidur makan tidur hahahaha... Suamiku sempat pergi toko di jalan besar untuk membeli ember, gayung, jepit baju, tali tampar (untuk membuat jemuran), susu, dan snack. Aku senang sekali karena ember di toilet jadi ada 2, bisa untuk cadangan air, ember untuk cuci baju juga baru. Tapi terutama karena suamiku membelikan gayung untuk di toilet dan di tempat mandi yang modelnya seperti yang ada di Indonesia, jadi memakainya jauh lebih nyaman dan mudah. Gayung di Nepal pada umumnya lebih mirip mug plastik yang tinggi, atau jug plastik, karenanya tidak nyaman dipakai.


Banyak sekali hal-hal yang sudah dilakukan oleh suamiku selama di Chautari. Memperbaiki ini dan itu, membuatkan ini dan itu, menata ini dan itu, sehingga semuanya terasa lebih nyaman dan menyenangkan dibanding saat pertama kami datang ^_^
Mulai hari ini kami juga memiliki dua sumber air. Sebelumnya kami menemukan ada sumber air lain yang mengalir ke tempat ini, dan oleh suamiku dibuatkan jalan dengan selang yang ada, jadi sekarang bisa mengisi 2 ember sekaligus ^_^



Malam harinya, seperti biasa Suraj masak dal bhat. Dan entah mengapa, aku tidak pernah bosan makan dal bhat buatan Suraj ini. Bagiku rasanya enak sekali, dan setiap kali pasti tambah lagi sampai kekenyangan. Sementara suamiku seperti biasa kalau menunya dal bhat, hanya makan nasi putih dengan telur dadar hehehehe...






18 November 2017


Pagi ini, kedua teman Suraj yang selama beberapa hari terakhir menginap di Chautari, akan pulang ke Kathmandu. Sekitar jam 8 pagi, mereka berdua berpamitan kepada kami semua. Kamar yang mereka tempati sebelumnya pun dibersihkan oleh Suraj, katanya akan ada tamu lagi yang datang esok hari. Pada umumnya setiap pagi suamiku sarapan roti isi selai kacang yang kami beli sendiri, jadi tidak perlu menunggu yang lain terbangun.




Menjelang siang hari, ada seorang laki-laki yang datang dan menawarkan pisang, katanya pisang organik. Aku melihat jenis pisang yang dijualnya seperti pisang kepok, yang bisa dimasak, karenanya aku membeli satu sisir isi 10 seharga NRs 90.


Ada suatu hal yang lupa kuceritakan: Kale.
Siapa atau apakah Kale?
Hari pertama kami datang sepulang dari trekking, ada seekor anjing berwarna hitam di halaman rumah. Kata Suraj, Kale adalah anjing liar di jalan raya sana, dan kale adalah bahasa Nepal untuk warna hitam, karenanya kemudian dia dipanggil Kale. Karena aku suka sekali anjing, aku sering mengajaknya bermain atau sekedar menepuk-nepuk kepalanya. Dan entah kenapa, sejak saat itu Kale suka sekali mengikutiku, padahal sebelumnya dia lebih banyak bersama Nadia. Sore hari itu Kale tidak tampak lagi.
Saat kami keluar ke Lakeside Road keesokan harinya, kata Suraj, Kale tampak mengikuti kami waktu pulang dari jalan besar. Dan semenjak saat itu, Kale hampir selalu berada di Chautari. Malam hari dia akan tidur di bale-bale di depan dapur, dan setiap pagi dia akan menyambutku dengan riangnya kalau aku masuk ke dapur. Kadang-kadang aku memberi donat sisa kemarin untuk sarapan Kale.
Lama-kelamaan, Kale jadi mulai berani masuk ke kamar kami, bahkan kalau kami tidur siang, Kale juga ikut tidur di dalam kamar hehehehe...



Nah, hari ini aku dan suamiku hendak mengunjungi Thakur, guidenya Lionel & MariAnne. Berbekal alamat yang diberikan Thakur sebelumnya, kami cari lokasinya di Google Map. Kalau jauh, mungkin kami akan naik bus atau taxi, tapi ternyata hanya sekitar 3,5 KM, jadi kami memutuskan untuk jalan kaki saja.


Sekitar jam 3.15 siang, kami pergi meninggalkan Chautari, dan ternyata Kale mengikuti kami, mulai dari rumah sampai ke Lakeside Road. Disuruh pulang tidak mau. Sampai akhirnya dia bertengkar dengan seekor anjing milik sebuah toko di Lakeside Road, lalu kabur, setelah itu kami tidak melihatnya mengikuti kami lagi.


Kami lewat jalan kecil, lalu masuk ke Phewa Marg. Jalan ini cukup lebar dengan pembatas jalan di tengahnya, dan merupakan salah satu jalan utama di Pokhara, karena dilalui oleh bus umum dan tourist bus  yang hendak menuju ke Kathmandu. Saat itu jalannya relatif sepi, tidak banyak orang dan kendaraan yang lalu lalang. Kami juga sempat berhenti sejenak menonton beberapa anak muda, kebanyakan usia sekolah, yang sedang bermain tenis meja. Tampak seru sekali mereka bermain dengan sarana seadanya, disaksikan oleh beberapa penonton cilik. Mereka menggunakan meja permanen yang terbuat dari semen, dan beberapa buah batu  dan batu bata sebagai ganti net. Kreatif sekali ya...




Setelah beberapa ratus meter, dari Phewa Marga kami berbelok ke Thado Pshal Path, alamat yang diberikan Thakur kepada kami. Ternyata jalan ini cukup panjang, dan kami tidak tahu di mana pastinya rumah Thakur, jadi saat ada seorang bapak yang tampak sedang berdiri di tepi jalan, aku bertanya kepadanya, apakah beliau kenal dengan Thakur guide? Bapak ini kemudian menanyakan nomor telepon Thakur, dan kemudian menelepon Thakur. Mereka berbicara dalam bahasa Nepal, jadi kami tidak mengerti apa yang mereka bicarakan. Setelah selesai menelepon, bapak yang baik hati ini kemudian memberi tahu kami untuk terus saja berjalan beberapa ratus meter ke depan, dan nanti akan ada sebuah tikungan. Di sanalah tempat tinggal Thakur.


Setelah berterima kasih kepada bapak tersebut, kami berjalan lagi sambil agak bingung-bingung juga, karena ada lebih dari satu tikungan. Sampai di tikungan ketiga, aku hendak berjalan terus dan mencari orang untuk ditanyai, ketika kemudian terdengar suara Thakur memanggil nama suamiku. Ah, ternyata Thakur baru saja keluar dari rumah sekaligus tokonya. Kami pun mengikutinya, dan Thakur mempersilakan kami duduk di samping tokonya. Kami juga diperkenalkan dengan istri dan putra-putri Thakur kecuali yang bungsu, karena sedang tidur siang. Menurut Thakur, istrinya yang mengelola toko kecil ini untuk menambah penghasilan dan mengisi waktu. Tidak lama kemudian, kami pun disuruh masuk ke dalam rumahnya dan duduk di bangku-bangku yang mengelilingi sebuah meja. Sepertinya ruangan ini adalah dapur sekaligus ruang makan dan tempat berkumpul. Kemudian putra Thakur keluar dan ikut menemani ayahnya. Thakur membuatkan kopi susu untuk kami berdua.


Dapur tempat kami duduk ini tidak terlalu besar, bahkan sedikit agak sempit sebetulnya dengan adanya meja makan di ruangan ini. Dapurnya sudah agak modern, dengan porselen melapisi tempat untuk masak dan kompornya. Tampak ada sebuah lemari es juga di dalam ruangan ini. Secara keseluruhan menurut pendapatku, rumah Thakur sudah termasuk yang cukup modern namun sederhana.


Selama hampir 2 jam berikutnya, kami mengobrol bersama Thakur dan putranya yang sudah remaja. Kalau aku tidak salah ingat, putri pertamanya berusia 19 tahun, putranya ini berusia 17 tahun, dan putri bungsunya berusia 10 tahun.

Ternyata putra Thakur inilah yang pertama melihat saat kami lewat di depan tokonya. Katanya, dia seperti melihat orang-orang yang ada di HP ayahnya. Saat kami berada di ABC, Thakur memang memvideokan suasana di sana, dan dia sempat juga merekam wajah kami hehehehe...

Aku jadi teringat, saat di ABC, Thakur bercerita mengenai kisah pernikahannya dengan istrinya. Ternyata di Nepal juga masih sering terjadi perjodohan. Saat itu Thakur dijodohkan dengan istrinya ini, dan kemudian mereka berdua diberi kesempatan untuk bicara berdua, untuk saling mengenal dan mengetahui suka atau tidaknya mereka kepada pasangannya. Saat itu, calon istri Thakur tidak berkata sepatah kata pun, bahkan tidak menjawab saat ditanya. Thakur jadi ragu-ragu, dan mengatakan kepada keluarganya bahwa dia suka pada perempuan yang dijodohkan dengannya ini, namun dia tidak yakin apakah perempuan ini menyukainya, karena dia tidak bicara sepatah kata pun. Thakur bahkan sempat bertanya apakah calon istrinya ini bisu atau tuli. Setelah ditanyakan, ternyata calon istrinya juga suka pada Thakur, dan demikianlah, mereka pun menikah.

Thakur banyak bercerita mengenai keadaan keluarganya. Sebenarnya dia ingin beralih pekerjaan, karena sebagai guide dia tidak memiliki jaminan di hari tuanya nanti. Sementara hasil dari menjadi guide juga tidak terlalu besar, karenanya mereka masih terus berjuang untuk memperbaiki hidup mereka. Menurut Thakur, dia dan keluarganya berasal dari kasta terendah di sana dan terkadang mereka tidak dianggap dan sulit mencari pekerjaan yang lebih layak. Sebagai contoh, orang dari kasta yang lebih tinggi tidak akan mau berbelanja di tokonya karena kasta mereka berbeda, padahal keuntungan yang diambil untuk tiap barang hanya berkisar NRs 5-10. Untungnya di area tempatnya tinggal, rata-rata orang berasal dari kasta yang sama, karenanya tetangga-tetangga sekitar masih mau datang dan belanja di sana. Karena masalah kasta inilah, Thakur lebih sering menyebutkan nama keluarganya dengan singkatan saja, karena orang Nepal bisa mengetahui kasta hanya dari nama keluarga. Menyedihkan sekali ya...


Belakangan ini istri Thakur mulai ke Gereja, dan Thakur sedang mempertimbangkan untuk ikut ke Gereja juga, karena menurutnya di Gereja tidak ada aturan kasta, semua sama dan sederajat. Thakur juga sempat mengatakan begini, "Honestly, I've never met people as friendly as you both". Aku merasa tersanjung sekali dalam hati saat mendengar Thakur mengatakannya hehehehe...

Thakur sendiri berkata, sebagai guide, dia juga berusaha untuk membantu siapa saja, walaupun bukan kliennya, dan ini memang kami rasakan sendiri, di manaThakur sudah banyak memberi kami saran dan tips untuk trekking sejak hari pertama bertemu.

Sekitar jam 5.30 sore, kami hendak pulang, karena istri Thakur tampak sudah mulai sibuk mempersiapkan sayuran, mungkin hendak masak untuk makan malam. Kami sendiri sudah berjanji kepada Suraj akan pulang sebelum jam makan malam. Sebelum pulang, kami sempat bertemu dengan putri bungsunya yang baru saja bangun tidur dan tampak malu-malu saat berkenalan. Setelah itu kami pun berpamitan, dengan harapan suatu saat nanti akan berjumpa lagi.


Kami menyusuri Phewa Marg yang sudah lebih ramai suasananya dibanding saat berangkat tadi. Saat melihat sebuah warung yang tampaknya menjual daging, kami bertanya kepada penjualnya, apakah jual daging ayam? Kata sang ibu penjualnya, tidak. Lalu kutanya jual daging apa? Katanya daging babi. Maka aku pun membeli 1/2 kg daging babi untuk kumasak buat suamiku. Harga daging babi di sini NRs 500/kg, jauh lebih murah daripada di Banyuwangi.




Kami juga sempat membeli whisky produksi lokal yang harganya cukup murah, tidak sampai 100 ribu rupiah sebotolnya. Ternyata memang rasanya kurang nendang dibandingkan Bacardi yang biasanya kami beli hehehehe...

Setelah itu kami berjalan cepat-cepat, karena hari sudah mulai gelap. Untung suamiku membawa headlamp, jadi ada penerangan saat menyusuri jalan setapak yang sudah gelap menuju ke Chautari.



Sesampainya di Chautari, aku bertanya kepada Suraj, hendak masak apa untuk makan malam, dan katanya dia akan masak thukpa. Belakangan aku baru menyadari bahwa yang dimasak Suraj ini adalah thenduk, bukan thukpa. Bedanya adalah kalau thukpa bentuknya seperti mie atau spaghetti, sedangkan thenduk bentuknya lebih lebar-lebar, bahkan bebas mau dibentuk apa saja.

David, Nadia dan aku membantu Suraj menggiling dan membentuk adonan yang dibuatnya dari terigu dan air. Boleh dibentuk seperti apa saja sesuai selera kita, dan boleh tebal atau tipis. Sementara itu Suraj membuat api unggun, lalu merebus kuah untuk adonan yang sedang kami bentuk ini. Seperti hidangan Nepal pada umumnya, kuah yang dibuat Suraj ini seperti kari, agak kental, dengan banyak bumbu masala di dalamnya. Sayur yang dimasukkan antara lain terung, kubis, kacang panjang, dan tomat.



Makan malam baru siap dihidangkan menjelang jam 7.30 malam, saat aku sudah kelaparan. Kami semua makan bersama, menikmati hidangan panas ini dalam udara yang dingin. Rasanya enak juga, walaupun aku lebih suka makan dal bhat. Suamiku pun kali ini suka dengan makanan yang dihidangkan, bahkan sampai nambah. Kale pun tidak mau kalah, turut menanti di depan api unggun dan makan hidangan yang sama hahahaha...


Karena lelah dan mengantuk, tidak lama setelah makan malam aku dan suamiku sikat gigi dan cuci muka, lalu pamit untuk istirahat.





19 November 2017

Setelah selesai dengan kegiatan bersih-bersih di pagi hari, kami berdua lebih banyak santai. Mengobrol bersama yang lain, memotret di sekitar, dan istirahat. Saat siang hari tampak banyak orang yang sedang paragliding nun jauh di atas sana. Kale juga selalu mengikuti, bahkan ikut tidur siang di kamar kami. Pagi ini suamiku senang sekali karena bisa sarapan pisang goreng seperti di rumah. Yang lain-lainnya juga sempat mencicipi pisang goreng yang kubuat, dan katanya enak sekali.
Daging babi yang kami beli kemarin, aku masak menjadi babi kecap dengan bumbu seadanya. Aku bagi menjadi beberapa bagian untuk makan suamiku, dan kusisakan sedikit untuk Suraj dan David. Nadia dan Cyp cenderung mengikuti pola makan vegetarian, jadi mereka memang tidak makan daging. Selama masih ada stok masakan daging babi ini, suamiku memilih makan menggunakan lauk ini, tapi setelah habis ya kembali kepada menu telur dadar lagi hehehehe...
Untuk penyimpanannya, aku masukkan ke dalam kantong plastik kecil-kecil dan kusimpan di dalam rantang, dan sebisa mungkin setiap hari dihangatkan agar tidak basi, karena di tempat ini tidak ada kulkas. Untuk menyimpan susu segar pun agak ribet supaya tidak cepat basi. Satu kantong susu isi setengah liter biasanya habis dalam satu hari.
Pada umumnya kami membeli susu siang atau sore hari, dalam keadaan dingin, baru keluar dari kulkas. Sampai di Chautari, susu ini direndam di dalam air menggunakan sebuah baskom logam dan diletakkan di luar ruangan agar selalu dingin. Inilah "kulkas" yang setiap hari kugunakan untuk menyimpan susu. Esok paginya, susu direbus semua, biasanya separuhnya digunakan membuat kopi di pagi hari, dan sisanya dimasukkan ke dalam botol dan dimasukkan ke dalam "kulkas" tadi. Dengan cara ini, susu bisa bertahan sampai sore harinya dan tidak basi. Yah, kadangkala kita memang harus kreatif dan beradaptasi dengan lingkungan hehehehe...



Untuk makan siang, Suraj masak nasi goreng, dan aku membuatkan bakwan/gimbal dari sayuran yang ada. Kami makan siang bersama dalam suasana yang menyenangkan. Kata Suraj, malam hari ini akan ada 3 orang teman perempuannya yang datang untuk makan bersama. Karenanya dia sibuk seharian membersihkan kamar, sepertinya ketiga temannya ini akan menginap di kamarnya. Hari ini kami juga memberikan uang sebesar NRs 500 kepada Suraj untuk membeli gas elpiji, karena yang sedang dipakai saat ini sudah tinggal sedikit isinya, dan cadangannya juga kosong. Harga gas elpiji di sini sekitar NRs 1,500 per tabung isi 15 kg. Aku juga menitipkan uang NRs 500 lagi untuk membeli pulsa, karena paket data yang ada sudah habis.




Sekitar jam 3 siang, David dan Nadia pergi ke jalan besar untuk menjemput teman mereka. Ternyata tamu yang dimaksud Suraj kemarin adalah dua orang teman Nadia dari Jerman. Sekitar 30 menit kemudian mereka sudah kembali dengan kedua orang teman mereka, Nils dan Hans. Nils bekerja sebagai terapis pijat, dan Hans bekerja di bidang sosio-psikologi yang membantu anak-anak. Nils sempat menawarkan akan memijat kakiku yang terkilir kalau ada waktu. Mereka berdua datang ke Pokhara dengan tujuan sama seperti kami, yaitu untuk trekking. Lucunya, ternyata mereka belum mencari informasi sama sekali mengenai rute atau lama waktu trekking yang mereka inginkan, dan bahkan tidak tahu bahwa untuk trekking di Nepal dibutuhkan permit. Karenanya setelah mereka mendapat informasi dari kami berdua, sepertinya besok mereka akan pergi mengurus ijin trekking diantar oleh Suraj.




Sore harinya mereka berempat pergi ke Lakeside untuk jalan-jalan, sedangkan kami di rumah saja. Aku membantu menyiapkan sayuran yang akan dipakai untuk memasak malam harinya. Kami akan membuat pakhora dan memakannya dengan kuah kari. Pakhora sendiri sebenarnya sama saja dengan bakwan atau gimbal sayuran ala Indonesia, hanya sayurannya lebih mengenyangkan karena diberi kentang yang diiris kecil-kecil selain sayuran yang lain (wortel, kubis, buncis), dan diberi banyak bumbu kari.

Saat Suraj melihat aku tidak mengiris-iris wortel tapi memarutnya dengan parutan kasar, sepertinya dia jadi terinspirasi dan kentang yang ada akhirnya diparut juga supaya cepat.

Sekitar jam 6 petang, Suraj pergi lagi untuk menjemput kedua temannya di jalan besar, dan tidak lama kemudian mereka datang. Teman Suraj ada dua orang, sepertinya masih remaja usia belasan tahun, dan keduanya berdandan agak menor untuk usianya. Aku sampai lupa nama mereka karena susah diingat. Mereka berdua sepertinya kurang membaur dengan kami, entah malu atau memang tidak mau. Mereka hanya bicara kalau ditanya. Selebihnya, mereka lebih sering mengobrol sendiri berdua.


Aku ditugasi membuat adonan pakhora, dan Suraj membuat kuah kari. Setelah adonan jadi, kedua teman Suraj dan aku menggorengnya di atas api unggun. Rasanya lamaaaa sekali baru semuanya matang, karena adonannya banyak sekali, satu baskom besar dan penuh sekali. Kami baru makan sekitar jam 8 malam.




Seperti biasanya, aku dan suamiku pamit duluan tidak lama setelah usai makan, dan kami pun berusaha tidur. Malam itu aku susah sekali tertidur. Aku mendengar suara mereka yang di luar masih mengobrol sampai lewat tengah malam, dan baru sekitar jam 1 malam aku tertidur.




20 November 2017


Hari ini aku bangun pagi dan bersih-bersih seperti biasanya. Hari ini rencananya kami akan jalan-jalan ke Lakeside dan sekelilingnya, sekaligus mencari informasi harga penginapan di sekitar Lakeside. Kami akan kembali ke Kathmandu tanggal 25 November naik bus, dan untuk mempermudah kami akan pindah ke penginapan di tempat yang letaknya dekat dengan tempat menunggu busnya, supaya tidak perlu repot berjalan kaki terlalu jauh sambil membawa beban yang berat.




Sekitar jam 9.30 pagi, kami sudah berangkat menuju ke Lakeside. Matahari sudah bersinar dengan teriknya walaupun udara masih tetap saja dingin. Namun dengan berjalan kaki jadi tidak terlalu terasa dinginnya. Lima belas menit kemudian kami sudah sampai di jalan besar, dan setelah melewati Freedom Cafe, kami mulai memasuki beberapa hotel dan guest house untuk menanyakan tarifnya.

Pada umumnya hotel yang biasa-biasa saja tarifnya NRs 1,500 per malam, sedangkan yang lebih mewah dan modern tarifnya sekitar NRs 2,500 - 3,500 per malam. Untuk guest house yang lebih sederhana, tarifnya NRs 700 per malam. Cukup banyak juga selisihnya, separuh harga dari hotel hanya karena beda nama saja.



Saat melewati sebuah toko yang menjual berbagai macam pakaian, tampak ada beanie yang dijual dengan harga NRs 250, dan ini harga termurah yang pernah kami lihat. Di semua tempat lain, bahkan di Kathmandu pun, harganya berkisar antara NRs 250 - 500. Maka kami pun berhenti dan membeli beberapa, karena ada saja yang minta dibelikan oleh-oleh beanie ini (sigh). Karena sepertinya toko ini memang murah, aku juga sekalian membeli kaos kaki dan sarung tangan yang dijamin hangat sekali deh kalau dipakai, sayangnya saat ke ABC kemarin belum punya hehehehe...




Kami juga sempat masuk ke sebuah jalan kecil karena melihat ada beberapa penginapan juga di sini. Baru masuk gangnya saja sudah nyaris tertawa melihat salah satu papan nama tempat makan, yang tulisannya "Better Than KFC", lalu di bawahnya tampak seperti kanji Korea. Ada-ada saja ya... Kemudian ada juga toko lukisan dan toko yang menjual kerajinan tangan di mana penjualnya membuatnya live di dalam tokonya. Sampai di ujung gang, suamiku menanyakan tarif hotel yang ada di situ, sementara aku memotret di sekitar. Namanya Fewa Hotel, dan letaknya memang sangat dekat dengan Phewa Lake, bahkan dari restorannya bisa langsung melihat ke danau. Tarifnya juga kurang lebih sama dengan hotel-hotel lainnya, untuk bungalow per malamnya NRs 2,500.




Kami kembali berjalan ke arah keluar dari gang ini, ketika terdengar suara seseorang memanggil nama kami. Oh, ternyata Dawa! Waaah senang sekali kami bertemu dengannya. Dia masih menemani si pak tua Jerman, dan orangnya sedang sibuk memilih souvenir. Dawa pun bercerita bahwa ternyata setelah pertemuan terakhir kami di Jhinnu, mereka berdua melanjutkan perjalanan ke Mardi Himal Trek. Dia menunjukkan beberapa foto dari trek tersebut, dan di situlah kami bersyukur tidak jadi mencoba Mardi Himal trek dalam kondisi yang sudah setengah fit. Ternyata treknya relatif sulit, ada beberapa medan yang sangat curam. Dawa menghabiskan waktu 6 hari untuk trek ini. Bisa dibayangkan kalau kami ke sana pasti akan sangat kelelahan. Pemandangannya memang sangat indah di Mardi Himal. Ah mudah-mudahan suatu saat kami masih bisa ke sana...

Dawa berkata bahwa hari itu juga mereka akan kembali ke Kathmandu naik pesawat, dan masih akan menemani si pak tua jalan-jalan di Kathmandu. Setelah itu kami pun berpamitan, dengan harapan masih bisa bertemu lagi di Kathmandu nantinya.

Kami menyusuri jalan-jalan yang agak kecil di sekitar Lakeside Road ini, melihat-lihat suasananya. Pada umumnya jalanan tidak terlalu ramai, bahkan masih banyak yang sepi, padahal waktu sudah menunjukkan jam 11.10 siang. Sepertinya suamiku mulai lapar, dan setelah melewati sebuah sekolah, tampak ada beberapa tempat makan di sebuah pertigaan jalan. Kami memlih salah satunya yang bernama Piya Restaurant. Kami sudah terbiasa dengan istilah restoran walaupun aslinya hanya berupa warung kecil, bakery walaupun tempatnya kadang agak meragukan, dan juga hotel walaupun kadang tidak beda dengan guest house hehehehe....


Suamiku memesan vegetable chow mien seharga NRs 60 dan milk coffee seharga NRs 40. Kalau dibandingkan dengan harga makanan selama trekking kemarin, rasanya jadi murah banget di tempat ini. Porsi chow miennya pun ternyata juga cukup banyak. Bisa jadi karena berlokasi di dekat sekolah, harganya tidak terlalu mahal. Kalau di jalan besarnya Lakeside, sudah pasti berbeda harganya.

Di tempat-tempat makan biasanya disediakan air minum. Seringnya memang berupa botol air 1 liter yang diisi ulang, tapi ternyata ada juga yang menyediakan air galon, dan bebas kita ambil sendiri.



Usai makan, kami jalan lagi dan akhirnya kembali ke arah Lakeside Road. Kami sampai di salah satu view point di Phewa Lake ini, dan baru saja hendak memotret, sudah ada yang menawarkan souvenir. Sudah ditolak dengan halus masih saja setengah memaksa, sampai akhirnya kami cuekin saja dengan melanjutkan memotret. Selesai memotret dan hendak beranjak dari tempat ini, ada lagi bapak-bapak yang menawarkan jasa taxi dan tour, dan waktu tahu kami dari Indonesia entah kenapa kok malah semakin memaksa sampai kami merasa kurang nyaman. Akhirnya kami tinggalkan saja dan cepat-cepat berjalan menjauh.




Menyusuri kembali Lakeside Road, teringat saat kami baru tiba di Pokhara untuk pertama kalinya, dengan backpack seberat 14 kg di punggung kami hahahaha... Kami benar-benar tidak menyangka bisa melalui semua itu.

Kami mampir di sebuah supermarket untuk belanja beberapa barang, termasuk di antaranya whisky, dupa wangi, rokok, dan kapur barus untuk diletakkan di toilet di tempat Suraj.

Seperti pernah kusebutkan sebelumnya, kehidupan di Nepal ini pada umumnya bagaikan kehidupan di Indonesia beberapa puluh tahun lalu. Menyusuri jalanan di kota turis ini, sepanjang kanan kiri jalan dipenuhi dengan berbagai macam penginapan dari yang tampak biasa-biasa saja sampai hotel berbintang, restoran besar dan kecil, cafe, dan toko-toko besar dan kecil yang menjual apa pun kebutuhan kita.

Sesekali tampak beberapa pedagang asongan, seperti penjual arumanis, penjual buah-buhan atau snack lokal, bahkan di beberapa tempat kadang tampak tukang service dan semir sepatu yang hanya menggelar lapaknya di atas selembar kain. Terkadang trenyuh hatiku melihat kehidupan orang-orang seperti ini.



Kami sempat berpapasan dengan Nils dan Hans yang sedang belanja peralatan trekking yang kurang, dan sempat berpapasan dengan Cyp yang sedang berjalan bersama seorang temannya. Kalau sudah begini, rasanya Pokhara kecil sekali ya....

Waktu sudah menunjukkan jam 1.45 siang, saat kami sudah akan mendekati arah pulang. Suamiku mengajak kami minum kopi di sebuah cafe (lebih mirip warung sih sebetulnya hahahaha), tempatnya nongkrong bersama Rohit dan adiknya beberapa hari lalu. Seperti biasa, yang dipesan selalu milk coffee, seharga NRs 80 (dua kali lipat yang tadi pagi yah harganya) dan sepotong banana pie seharga NRs 70.
Aku sendiri memperhatikan sang ibu pemilik cafe sedang membeli jeruk dari seorang pedagang buah keliling. Karena sebenarnya iba kepada bapak penjual buah ini, aku pun mencoba bertanya harga pisang kepada sang bapak. Ternyata harganya dihitung per buah, yaitu NRs 6 per 1 pisang. Aku mengambil yang isi 12 dan dihargai NRs 70. Ini termasuk murah sekali lho bagiku. Pisangnya besar-besar dan manis, seperti pisang ambon tetapi lebih padat dan lebih enak.



Karena merasa sudah cukup puas jalan-jalan, selesai menghabiskan segelas kopi berdua, kami berjalan pulang. Di jalan kami menjumpai "cegatan" alias polisi yang sedang razia di tengah jalan. Sudah beberapa kali kami melihat razia di titik yang sama persis, biasanya memang siang hari menjelang sore begini. Yang membuat agak seram karena biasanya ada beberapa anggota yang membawa tongkat kayu panjang, entah untuk apa. Mungkin untuk menghentikan secara paksa orang-orang yang tidak mau berhenti. Tapi biasanya aku menyapa mereka dengan "namaste" seperti biasanya, dan mereka tidak sok galak lho, malah menjawab dengan senyum hehehehe...




Setelah melanjutkan berpanas-panas ria di jalan, menyusuri jalan setapak berbatu yang menyakitkan (karena kadang masih terpeleset di sini) dan pematang sawah, sampailah kami di Chautari jam 2.30 siang.

Lega sekali sudah sampai di rumah. Biasanya mumpung baru pulang dari bepergian seperti inilah kami segera mandi, karena kalau tidak, udara akan terasa dingin sehingga malas mandi hehehehe...



Suraj bercerita bahwa tadi malam salah satu dari kedua teman perempuannya merokok dan minum minuman beralkohol, dan ternyata tidak kuat. Saat tidur di kamar Suraj, dia muntah-muntah di kasur sampai spreinya jadi kotor. Pagi tadi temannya yang muntah ini disuruh mencuci spreinya. Menurut Suraj, ternyata mereka baru saja kenal di sebuah bar. Kakak si gadis ini yang memiliki bar tersebut, jadi bisa dibilang dia anak orang mampu. Dia tidak bekerja, sehari-harinya hanya bersenang-senang karena uang tidak jadi masalah. Kata Suraj, dia kapok sekali mengundang kedua temannya ini. Kamarnya jadi kotor dan bau.


Setelah beristirahat, sore harinya aku membantu Suraj menyiapkan sayuran yang akan dimasak. Malam ini Suraj akan masak dal bhat, kesukaanku. Aku sudah terbiasa dan mengerti sayurannya harus diapakan, jadi Suraj tinggal memilih sayurnya dan menyerahkannya kepadaku. Hari ini tarkharinya berisi kentang, terung dan buncis.

Jam 6.40 petang, kami makan bersama, dan perutku sepertinya jadi sudah terbiasa diisi makanan dalam jumlah besar, setiap malam aku makan dengan porsi yang melebihi porsi kuli. Aku sendiri sampai heran kenapa bisa demikian. Yang pasti, gara-gara aku selalu makan cabe dalam jumlah banyak untuk teman makan nasi, tiap selesai makan malam biasanya aku diminta menghitung jumlah cabe yang sudah kumakan. Ada-ada saja ya hahahaha...



Nah ada satu uneg-uneg lagi nih. Dari sekian banyak orang-orang Western yang pernah aku jumpai, sebagian besar biasanya tidak terlalu mau makan gorengan (anything that's deep fried), baik yang bersifat sebagai lauk maupun snack. Contohnya kemarin pagi, saat Cyp, David dan Nadia makan pisang goreng, mereka bilang enak, tapi tidak mau makan banyak-banyak karena terlalu berminyak. Lalu malam harinya kan makan gorengan lagi tuh. Pagi tadi Cyp berkata bahwa sudah cukup makanan yang digoreng untuk perutnya, hari ini dia akan makan yang lebih "bersih". Demikian pula Nadia dan David, saat mengetahui malam ini kami akan makan dal bhat, mereka senang karena menurut mereka dal bhat adalah makanan yang "direbus" (karena berkuah). Andai mereka tahu bahwa untuk membuat kuahnya, setelah lentil direbus, kuah ini digoreng lagi dengan minyak yang sangat panas. Tarkharinya sendiri juga ditumis dengan minyak yang cukup banyak.

Selain itu, mereka seringkali membuat salad yang menurut mereka sehat, namun faktanya mereka menambahkan minyak dalam jumlah yang cukup banyak ke dalam salad tersebut (mereka tidak selalu juga menggunakan olive oil atau coconut oil lho). Belum lagi makan roti atau apa pun dengan mengoleskan banyak butter atau mendadar telur dengan banyak minyak. Menurutku ironis sekali, dan "gaya hidup sehat" mereka sama sekali tidak masuk logikaku. Tapi ya sudahlah, cuma kusimpan dalam hati saja hehehehe....

Usai makan malam, kami masih ngobrol-ngobrol dulu. Besok pagi Nadia, David, Nils dan Hans akan  pergi ke Sarangkot jam 6 pagi, katanya untuk pemanasan sebelum trekking. Sepertinya malam ini aku agak terlalu banyak minum, sehingga tidak lama setelah makan malam rasanya mengantuk sekali. Karenanya aku berpamitan lebih dahulu untuk tidur.




21 November 2017


David, Nadia, Nils dan Hans pergi sekitar jam 6 pagi ke Sarangkot. Cyp juga ada janji untuk bertemu dengan temannya, jadi Suraj mengajak kami berdua untuk berjalan-jalan ke sisi utara Phewa Lake. Kami berdua menunggu sampai Suraj selesai bersiap-siap, barulah kami pergi.




Sejak kami datang pertama kali, di depan dapur ada banyak tumpukan barang yang tampak seperti sampah, dan ternyata memang sampah kering atau yang bisa didaur ulang. Ada banyak sekali botol bekas air minum, lalu karung-karung yang berisi sampah kertas dan dan sampah kaca. Semuanya sudah dipilah-pilah. Aku pernah bertanya kepada Suraj, akan diapakan atau bagaimana membuang sampah-sampah tersebut. Kata Suraj, sampah tersebut bisa dibawa ke pinggir jalan besar, di mana nantinya akan diambil oleh truk petugas pengangkut sampah. Masalahnya, hampir setiap kali ada yang keluar dari Chautari, pada umumnya lupa membawa sampah-sampah tersebut keluar. Hari ini mumpung aku ingat, aku dan suamiku membawa sampah tersebut sekuat yang kami bisa, sementara Suraj menyunggi tabung gas elpiji di pundaknya, hendak membeli yang baru.


Jam 10 pagi, kami bertiga berangkat, dan seperti biasanya jika kami keluar, Kale mengikuti. Sesampai di warung langganan kami, Suraj menitipkan tabung gas yang sudah kosong tersebut, dan sepulang jalan-jalan nanti baru kami kembali lagi. Kami menyusuri jalan menuju ke arah utara, dan tidak lama kemudian Kale (lagi-lagi) bertengkar dengan seekor anjing lain, dan setelah itu tidak terlihat lagi.




Matahari bersinar terik, sementara tidak ada pepohonan sama sekali sepanjang jalan. Pagi ini kami melihat di beberapa tempat tampak banyak orang yang sedang menumpuk jerami dari sisa panen padi. Ada di suatu tempat di mana orang-orang tersebut kusapa, eh ujung-ujungnya mereka malah mau minta uang. Akhirnya kutinggal saja karena aku kesal. Saat itu aku memang berjalan agak jauh di belakang suamiku dan Suraj.




Makin jauh kami berjalan, makin parah kondisi jalan aspalnya. Memang mulai Panchase Marga (marg atau marga artinya jalan) jalannya relatif tidak terlalu ramai, sudah tidak banyak toko-toko untuk turis seperti di Lakeside Road dan Baidam Marga.

Kami memasuki sebuah desa yang namanya Happy Village. Lalu kami menyusuri lapangan rumput yang berada di pinggir danau, dan menyaksikan sisi lain dari Phewa Lake. Sayang sinar matahari yang terlalu terik membuat hasil foto yang diambil jadi tidak maksimal.



Setelah berjalan sekitar 2,5 KM dari Chautari, Suraj mengajak kami ke sebuah restoran untuk istirahat. Namanya Samdhini Restaurant, dan ada semacam bungalow-bungalow kecil untuk tempat makan yang letaknya sangat dekat dengan danau. Kami memilih sebuah bungalow yang tampaknya nyaman, dan tidak lama setelah kami duduk, seorang waiter menghampiri kami dan memberikan menu. Suamiku memesan fried buff (NRs 150) dan milk coffee (NRs 50), sementara Suraj memesan buff chow mien (NRs 120) dan coca cola (NRs 40). Kami menunggu sembari mengobrol, sementara Suraj melakukan video call dengan pacarnya.


Setelah cukup lama menunggu (lebih dari 30 menit pastinya), makanan yang kami pesan pun tiba. Secara keseluruhan, rasanya biasa-biasa saja. Daging kerbau gorengnya menurutku agak keras, dengan condiment yang agak aneh-aneh seperti kedelai goreng dan crispy rice. Chow miennya juga standar rasanya.

Sempat juga numpang ke toilet di tempat ini. Biasanya toilet umum di tempat-tempat seperti ini bersih dan terawat, bahkan banyak yang sudah modern.



Usai makan dan membayar tagihan, kami berjalan kembali untuk pulang. Waktu sudah menunjukkan jam 12 siang. Tadinya Suraj mau mengajak kami berjalan lebih jauh lagi, tapi merasa sudah cukup jauh berjalan untuk hari ini, apalagi panasnya benar-benar menyengat. Di sekitar tempat ini cukup banyak hotel dan restoran, namun saat itu tidak tampak banyak pengunjung di area ini.

Kami melewati sebuah toko penjual daging ayam dan mampir untuk membeli daging ayam sebanyak 1 kg. Di tempat ini harganya sedikit lebih mahal dibandingkan di tempat terakhir kami membeli. Tadinya aku juga mau membeli susu, tapi harganya pun lebih mahal, jadi kuputuskan untuk membeli di warung langganan kami saja.



Kami juga melewati sebuah lapangan di mana tampak beberapa orang yang sedang berlatih paragliding. Mungkin mereka calon-calon instruktur paragliding. Pokhara memang terkenal dengan paraglidingnya. Biasanya starting pointnya dari Sarangkot, dan berakhir di sebuah lapangan rumput di tepi Phewa Lake. Kalau siang hari, kami sering melihat banyak sekali paragliders yang melayang-layang nun jauh di atas Chautari. Aku sendiri takut ketinggian, jadi tidak terlalu tertarik untuk mencoba paragliding ini. Dari beberapa informasi yang kudapat, biayanya sekitar 600 ribu rupiah untuk sekali naik.




Menjelang jam 1 siang, kami sampai di warung langganan kami, dan Suraj membeli gas elpiji dan beras untuk persediaan. Kami sendiri mencoba membeli beberapa bungkus mie instan lokal, susu, dan beberapa snack lainnya.

Aku tidak mengerti apa yang dikatakan, namun Suraj tampak berbincang-bincang dengan seorang bapak usia paruh baya. Ternyata Suraj menyewa jasa bapak tersebut untuk mengantarkan beras yang baru dibelinya ke Chautari. Kami pun berjalan beriringan menuju Chautari.



Sesampai di Chautari, Suraj tampak marah-marah kepada bapak yang mengantarkan beras tersebut. Ternyata bapak itu minta uang lebih setelah sampai, tidak sesuai dengan perjanjian di awal. Akhirnya dengan marah-marah dan sepertinya tidak ikhlas, Suraj membayar NRs 200 yang diminta bapak tersebut dengan meminjam uang kami. Katanya nanti akan dikembalikan.

Setelah itu Suraj jadi tampak bete dan cemberut terus. Cyp yang sedang menganggur menawarkan diri untuk memijat Suraj untuk merilekskan tubuhnya. Sementara Suraj dipijat di depan kamar, aku banyak memberi wejangan kepada Suraj agar dia lebih bersabar dan tidak perlu mendendam terhadap orang-orang seperti itu. Akhirnya Suraj bisa menerima dan sepertinya sudah tidak kesal lagi.
Setelah itu aku juga dipijat oleh Cyp. Model pijatnya yang tidak menyakitkan seperti tukang-tukang pijat di Indonesia, jadi hanya sekedar melemaskan otot saja. Rasanya sampai terkantuk-kantuk waktu dipijat hahahaha...

Sekitar jam 3.30 sore, Suraj membuat sandwich untuk snack siang. Isinya timun, tomat, bawang merah, dan keju. Lumayanlah untuk isi perut sambil menunggu waktu makan malam tiba. Suamiku juga sempat memotret anak burung dara yang baru menetas di dalam kandangnya. Nadia dan yang lain-lain baru pulang menjelang petang hari.




Semenjak aku membantu Suraj menyiapkan sayuran untuk dimasak, kami bisa makan lebih awal. Biasanya makan malam baru terhidang jam 8 ke atas, namun belakangan ini paling telat jam 7 malam biasanya sudah siap. Malam ini pun kami makan jam 6.45 petang dengan menu dal bhat, plus tambahan ayam yang dimasak mirip-mirip rendang. Enak sekali karena aku sudah agak lama tidak makan daging, biasanya hanya ikut mencicipi sedikit saja.




Seperti biasa, setelah makan kami masih mengobrol di meja makan. Kemarin Cyp berkata bahwa hari ini seharusnya dia akan check-out, namun tadi pagi Cyp memutuskan akan check-out besok saja. Katanya dia akan pergi ke sebuah desa untuk menjadi sukarelawan di sana bersama beberapa teman Belgianya. Karena itu malam ini adalah malam terakhir kami semua bersama Cyp sekaligus Nils dan Hans. Selama lebih dari seminggu mengenal Cyp, menurutku dia orang yang baik walaupun kadang gayanya agak nyentrik. Tiap pagi setelah bangun tidur biasanya dia akan melakukan stretching dan sedikit yoga. Kalau bicara bahasa Inggris kadang tidak jelas, karena logat Perancisnya sangat melekat. Contohnya, kalau bilang "the", dia akan mengucapkannya sebagai "ze". Kadang lucu jadinya kalau mengobrol dengannya. Sayang sekali dia harus pergi besok....


Seharusnya Nils menawarkan akan memijatku malam ini, tapi sepertinya malam ini aku terlalu banyak makan sampai perutku terasa sangat-sangat penuh. Aku berpikir dalam kondisi kekenyangan tentunya tidak akan nyaman dipijat, apalagi secara mental aku belum siap, takut kalau sakitnya luar biasa, jadi dengan terpaksa aku menolak tawaran Nils di malam terakhirnya di tempat ini....




22 November 2017


Nils dan Hans baru meninggalkan Chautari jam 7 pagi. Sama seperti kami, mereka akan ke Nayapul dulu naik bus, dan rute trekking yang dipilih adalah Poon Hill dan Annapurna Base Camp. Aku sempat mengobrol sejenak dengan mereka berdua dan memberikan info atau tips berdasarkan pengalaman kami sebelumnya. Usai mereka bersiap-siap, mereka pun berpamitan kepadaku, sementara yang lain masih tidur.


Karena beberapa hari lagi kami sudah akan meninggalkan tempat ini, aku mulai membereskan barang-barang kami agar tidak lagi berantakan di dalam kamar. Barang-barang yang akan dipacking ke dalam kantung plastik sudah dibereskan lebih dahulu.

Hari ini kami juga akan ke Lakeside untuk memesan tiket bus kembali ke Kathmandu. Suraj akan mengantar kami.



Suraj dan yang lain-lainnya bangun sangat siang, karenanya aku menyempatkan diri naik ke lantai dua bangunan utama melihat-lihat seperti apa keadaan di sana. Aku baru menyadari keberadaan ruangan ini setelah kemarin diberi tahu oleh Nadia. Katanya ada banyak buku di atas kalau kami mau baca. Lalu ada ruangan yang luas juga, yang sebetulnya kalau mau bisa dipakai sebagai ruang atau kamar dormitory. Karenanya aku jadi penasaran dan ingin melihat ke atas.


Begitu sampai di atas, banyak barang-barang yang sepertinya sudah tidak terpakai lagi, dan kondisinya berantakan. Ada sebuah rak buku dengan banyak buku berbahasa Inggris yang tertata di dalamnya.

Aku memasuki pintu yang dibiarkan terbuka di tempat ini. Di balik pintu tersebut terdapat sebuah ruangan yang luas, dengan dua buah peti yang besar-besar, dan beberapa barang yang sepertinya tidak dipakai lagi. Aku membuka peti-peti tersebut, dan ternyata isinya macam-macam, mulai dari sarung tangan, selimut, kain-kain, dan masih banyak lagi. Ada selembar kain berwarna merah kotak-kotak yang mirip syal yang besar. Karena sepertinya masih bagus, aku ambil saja. Ternyata ada bagian yang robek, tapi sepertinya bisa dijahit. Karena ingin kubawa pulang, kain ini kucuci dulu supaya bersih. Saat Suraj bangun dari tidurnya, aku bertanya apakah kain tersebut boleh kubawa, dan katanya boleh. Menurut Suraj, kain itu dulunya milik seorang tamu dari Belanda, lalu ditinggalkan di sini.



Siang ini aku masak nasi goreng untuk makan siang bersama. Usai makan, menjelang jam 1 siang, kami bersiap untuk pergi ke Lakeside, sekalian mengantar Cyp. David juga ikut bersama kami dan membawakan backpack Cyp. Ternyata Kale pun ikut dengan kami sepanjang jalan. Sampai di jalan besar suasananya ramai sekali, banyak bapak-bapak dan ibu-ibu yang berpakaian rapi dan indah, kebanyakan berwarna merah. Ternyata sedang ada resepsi pernikahan entah di mana.

David hanya mengantar sampai di sini, dan selanjutnya kami berempat melanjutkan jalan sampai ke sebuah agen tour. Karena Cyp masih hendak bertemu temannya, dia jalan duluan dan kami berpisah dengan Cyp di sini. Mudah-mudahan suatu saat kami bisa bertemu lagi dengan Cyp entah di mana ^_^



Suraj menanyakan tiket bus ke Kathmandu kepada pemilik tempat ini, dan katanya tiket bus deluxe ke Kathmandu harganya NRs 700. Kali ini suamiku ingin mencoba bus yang lebih nyaman, dan di tempat ini tidak menjual tiket VIP, jadi kami berjalan lagi dan mencari tempat lain. Kale masih saja mengikuti kami bertiga.

Ada agen tour lain di dekat Freedom Cafe, tapi ternyata tidak ada orang di dalamnya, maka kami jalan lagi, sampai ke sebuah agen tour bernama Himalaya Heaven. Seorang staff perempuan yang masih muda tampak duduk di belakang meja, mempersilakan kami duduk dan melayani kami. Kale ikut masuk dan malah tidur-tiduran di lantai hahahaha... Lucu dan mengharukan sekali melihat kesetiaan anjing yang satu ini.



Setelah menunggu sang staff menelepon, kami diberi tahu bahwa tiket bus VIP tujuan Kathmandu masih ada. Harga tiketnya NRs 2,200 per orang. Fasilitasnya antara lain bus ber-AC dengan tempat duduk yang bisa digerakkan, air minum, makan siang, dan snack. Tempat duduknya juga lebih sedikit, satu baris hanya 3 seat, dua di kanan dan satu di kiri. Suamiku menyanggupi, dan kami memilih tempat duduk yang agak di depan. Maka staff tersebut menelepon lagi, lalu memberi tahu bahwa kursi yang kosong adanya agak di tengah, yang di depan sudah penuh atau tinggal yang sendiri-sendiri tempat duduknya. Jadi kami pun memilih yang di tengah tersebut. Katanya, tiketnya baru bisa keluar sekitar 1 jam kemudian, jadi kami meninggalkan uang muka, dan pergi berjalan-jalan dulu sambil menunggu.


Suraj mengantar kami membeli isolasi/plakban ke sebuah toko alat tulis dan kantor di dekat Lakeside Road. Plakban ini akan kami pakai untuk packing barang-barang yang ada di dalam tas plastik besar nantinya. Karena masih banyak waktu, Suraj menyarankan kami untuk nongkrong di cafe saja sembari menunggu, daripada harus bolak-balik ke Chautari. Kami diajaknya ke sebuah bakery kecil, lalu Suraj memilih sebuah cake cokelat yang tampaknya besar sekali, seharga NRs 80. Lalu kami diajaknya masuk ke sebuah lorong di sebelah bakery ini, yang ternyata menuju ke sebuah cafe di lantai atas. Sementara itu Kale tidak bosan mengikuti kami.




Setiba di dalam cafe yang mempunyai nama Joy's Restaurant & Bar ini, kami memilih tempat duduk, lalu memesan kopi. Kale sibuk berkeliaran ke meja-meja yang lainnya, sampai beberapa kali harus dimarahi, takutnya mengganggu pengunjung lainnya. Harga milk coffee di tempat ini relatif murah, hanya NRs 60, dan ternyata enak juga.

Karena posisi cafe yang di lantai dua, kami bisa melihat ke danau dengan jelas. Di atap-atap rumah sebelah cafe tampak banyak sekali baju-baju yang dijemur di atas atap yang sepertinya terbuat dari seng. Mengingat Pokhara adalah kota turis, sebetulnya pemandangan seperti ini kurang pantas ya, namun mungkin memang sudah kebiasaan penduduk di Nepal ini untuk menjemur pakaian di atap rumah walaupun sebenarnya kotor.



Hampir 1 jam kami berada di sini, mengobrol dan memanfaatkan fasilitas wifi. Saat membayar, pemiliknya mengajak kami mengobrol. Dia seorang laki-laki berusia 50-an dan sepertinya orangnya suka ngobrol. Setelah berbasa-basi dan mengobrol sejenak, kami pun meninggalkan tempat ini dan kembali ke Himalaya Heaven. Tiket bus VIP yang kami pesan sudah siap, dan kami memastikan bahwa fasilitasnya sesuai dengan yang dijanjikan dan tempat duduknya tidak akan ditempati oleh orang lain. Setelah tiket ada di tangan, kami pun berjalan hendak pulang. Kami mampir membeli whisky di sebuah toko yang dilewati, dan aku baru tahu bahwa membeli apa pun di Nepal ternyata bisa ditawar harganya, asalkan bukan di supermarket. Setelah itu Suraj berkata bahwa dia akan merapikan rambutnya dulu di sebuah barbershop, jadi kami jalan pulang duluan.




Menjelang sampai di Chautari, suamiku berkata bahwa sepertinya ada kerbau di dalam wilayah Chautari. Ternyata memang benar, ada 2 ekor kerbau yang sedang berkeliaran dan makan tanaman yang ada di halaman. Karena kami masih agak takut-takut kalau kerbaunya menyeruduk, Kale yang kami suruh mengusir kerbaunya. Lucu juga melihat Kale berlarian mengejar si kerbau. Setelah kerbaunya pergi dari halaman depan kamar, baru kami masuk dan ternyata dua ekor kerbau ini meninggalkan kotoran mereka. Yang satu tepat di depan kamar kami, dan yang satunya lagi di tengah jalan menuju ke pancuran air. Hadeh... Yang di tengah jalan bisa kami siram dengan air yang banyak karena lembek, tapi untuk yang di depan kamar, kami menunggu Suraj datang karena tidak tahu harus bagaimana membersihkannya.


Sembari menunggu Suraj, aku mandi terlebih dulu sebelum keburu makin dingin udaranya. Saat mandi pun, dari lubang yang menghadap ke belakang aku melihat seekor kerbau yang mendekat ke Chautari, tapi kemudian dikejar oleh Kale.

Tidak lama setelah aku selesai mandi Suraj pun datang, dan kami minta tolong padanya untuk membersihkan kotoran yang berada di depan kamar tersebut, dan oleh Suraj diambil begitu saja dengan tangan dan dipindahkan dengan semacam serok. Hiiii... sebenarnya aku jijik melihatnya, tapi kata Suraj kotoran kerbau bisa untuk pupuk dan sesungguhnya tidak menjijikkan karena kerbau hanya makan rumput dan tanaman. Kotoran tersebut lalu diletakkan entah di mana, untuk pupuk tanaman katanya.

Aku sempat bertanya kepada Suraj, jadi sebetulnya berapa tarif kami bermalam di Chautari, karena yang aku tahu tarifnya kadang berbeda-beda untuk tiap tamu. Aku tahu sewaktu bertanya kepada Nadia di awal kami sampai di tempat ini. David dan Nadia dikenai tarif NRs 500/malam. Suraj menjawab, kami tetap dikenai NRs 350/malam seperti di awal. Katanya, Dorje cerita kepada Suraj bahwa kami baik kepadanya hehehehe...
Lalu kata Suraj lagi, sebetulnya tiap kali makan ada biayanya. MIsalnya sarapan roti dan black tea, dikenai NRs 120, nasi goreng NRs 125, dan dal bhat NRs 150 per orang. Sebetulnya relatif murah ya, apalagi masakan Suraj juga enak. Menurut Suraj, karena kami setiap hari membantu membersihkan tempat ini, sudah membantu membuat tempat ini jadi lebih baik dan lebih nyaman daripada sebelumnya, dan karena kami menganggapnya seperti keluarga sendiri, dia tidak mau membebankan biaya makan kepada kami. Wah... aku jadi terharu juga, ternyata Suraj memang pada dasarnya baik hatinya.
Memang sebetulnya dilema juga, karena kami ingin membantu Suraj, tapi di lain pihak kami sendiri juga memiliki budget terbatas. Aku hanya bisa mendoakan semoga Chautari selalu dikunjungi tamu-tamu yang baik ^_^

Suraj juga bercerita bahwa dia menyewa tempat ini senilai NRs 1,050,000 per tahunnya, dan dia sudah kontrak selama 4 tahun. Sementara itu, ada 3 bulan dalam setahun di mana tempat ini tidak bisa beroperasi, yaitu saat musim hujan. Jalan setapak berbatu yang setiap hari kami lewati untuk keluar masuk tempat ini aslinya adalah sungai. Saat musim hujan tiba, sungainya akan terisi air, tentu saja, dan menyebabkan jalur untuk ke Chautari menjadi terputus. Selain itu, ada saatnya ketika musim tanam padi, air yang mengalir setiap hari ke tempat ini ditutup karena dipakai oleh penduduk untuk mengairi sawah mereka.
Kasihan sekali ya...

Malam harinya kami habiskan dengan mengobrol dan makan bersama. Menu malam ini dal bhat lagi, ditambah dengan salad yang dibuat oleh Nadia. Isi saladnya adalah tomat, timun, dan alpukat, yang disiram dengan banyak minyak goreng. Ini dia yang aku sebutkan sebagai gaya hidup sehat yang agak aneh hehehehe...




Suraj mengajak kami semua berkunjung ke Begnas Lake yang jaraknya hampir 20 KM. Katanya Begnas Lake juga bagus, jadi kami semua bersedia. Kata Suraj, di Begnas Lake tidak butuh banyak berjalan kaki, karenanya aku mau ikut. Kami juga sepakat untuk membawa bekal makan sendiri agar bisa dimakan di sana nantinya. Suraj meminta Nadia dan David untuk bangun lebih pagi dari biasanya agar berangkatnya tidak terlalu siang. Usai mengobrol, kami semua beranjak tidur agar besok bisa bangun pagi.




23 November 2017


Karena aku bertugas masak nasi goreng, aku bangun agak lebih pagi dari biasanya, dan jam 6 pagi aku sudah selesai masak nasi goreng untuk bekal yang akan dibawa ke Begnas Lake. Suraj baru bangun jam 7 pagi, sementara David dan Nadia baru bangun menjelang jam 8 pagi. Suraj membuat telur rebus dan masakan dari kentang untuk menambah perbekalan makan siang. Banyak sekali makanan yang kami bawa hari ini.


Setelah semuanya selesai sarapan, sekitar jam 8.15 pagi kami semua berangkat meninggalkan Chautari dan berjalan ke Lakeside. Ternyata ada jalan menuju ke pusat Lakeside yang melewati pinggiran danau, tidak lewat jalan besar. Kami pernah lewat jalan ini bersama Dorje, tapi tidak tahu kalau bisa tembus sampai ke jalan besar. Sempat juga mampir untuk numpang buang air kecil di sebuah cafe. Untung yang jaga baik, kami diperbolehkan menggunakan toiletnya.




Kami sampai ke Camping Chowk jam 9 pagi. Tempat ini adalah semacam terminal kecil tempat mangkalnya angkutan umum di dekat danau. Enaknya pergi bersama Suraj, karena dia orang lokal jadi mudah bertanya arah kepada pengemudi angkotnya. Harga yang diberlakukan pun harga lokal. Kami tidak tahu apakah transportasi umum di Nepal memberlakukan harga yang berbeda untuk turis, karena kami baru sekali naik taxi selain yang dari bandara.


Kami langsung mendapatkan angkutan umum yang seperti angkot kalau di Indonesia. Kami berlima merupakan penumpang pertama, karenanya mobil masih dalam keadaan kosong saat kami masuk. Namun tidak berapa lama kemudian mulai banyak penumpang lain yang masuk, sehingga cukup berdesakan. Beruntung posisi dudukku cukup nyaman, sehingga tidak sampai terlalu tergencet hehehehe...



Kami berhenti di sebuah jalan yang tampak sangat ramai, namanya Prithvi Highway. Kendaraan lalu-lalang, dan banyak orang hilir mudik. Sepanjang tepi jalan juga penuh dengan toko-toko dan penjual makanan. Karena masih menunggu bus ke arah Begnas Lake, aku mencoba membeli snack lokal yang dipajang di sebuah toko. Ada bermacam-macam snack yang dipajang, namun aku hanya membeli dua macam. Yang satunya berbentuk seperti bola ping pong berwarna kuning agak oranye, namanya motichur ko laddu. Terbuat dari tepung chickpea dan sirup gula. Yang satu lagi bentuknya seperti kerupuk di Indonesia, hanya saja sedikit lebih kecil dan warnanya kecoklatan. Namanya jalebi. Tadinya aku pikir kedua makanan ini rasanya gurih atau asin, ternyata keduanya manis. Yang jalebi bahkan manis sekali dan sangat berminyak. Harganya masing-masing NRs 20. Semuanya dibungkus dengan kertas koran bekas, menambah unsur tidak sehat pada snack ini hahahaha....




Sekitar jam 9.30 pagi, kami mendapatkan bus jurusan Begnas Lake. Busnya sudah agak penuh, beruntung masih ada beberapa tempat duduk yang bisa duduk berdua-dua. Aku dan suamiku duduk di tengah, Suraj agak di belakang, sedangkan David dan Nadia duduk di deretan paling belakang.

Sepanjang perjalanan cuaca panas, dan jalanan yang dilalui pada umumnya cukup ramai. Busnya full music, dan lagu-lagu yang diputar seperti lagu India. Semakin lama bus semakin penuh dengan penumpang, sampai banyak yang harus berdiri. Yang pasti tidak tampak adanya budaya memberikan kursi bagi para ibu atau orang tua. Aku makan satu buah jalebi untuk mengisi perut, dan mungkin karena gula dan minyaknya yang banyak, makan satu saja sudah kenyang.



Kami sampai di terminal di dekat Begnas Lake sekitar jam 10.10 pagi. Suasana tampak belum terlalu ramai. Dari terminal, kami berjalan lagi sekitar 5 menit menuju ke pintu masuk menuju danaunya. Danau ini lebih banyak dikunjungi penduduk lokal, karenanya para pedagang maupun souvenirnya lebih banyak menjual barang-barang dan makanan lokal.




Begnas Lake adalah danau ketiga terbesar di Nepal dengan luas permukaan 3,28 kilometer persegi dan kedalaman rata-rata 6,6 meter. Danau ini berlokasi di bagian tenggara Pokhara Valley pada ketinggian 650 mdpl. Kedalaman air di danau ini berfluktuasi secara musiman, tergantung curah hujan dan penggunaannya sebagai sarana irigasi. Tingkat ketinggian airnya diatur oleh sebuah waduk di sisi barat yang dibangun pada tahun 1988.

Beberapa area di Begnas Lake digunakan untuk beternak ikan. Selain itu ada beberapa area yang berlumpur di sekitar danau ini, sehingga lama-kelamaan dikonversi untuk bercocok tanam padi oleh penduduk sekitar.



Aku sudah sempat melihat foto-foto danau ini saat mencari informasi mengenai Pokhara, jadi setidaknya sudah ada sedikit gambaran. Danaunya sama sekali tidak wow dengan airnya yang agak kehijauan, namun area perbukitan dan hutan di sekelilingnya membuatnya jadi indah dipandang.




Suraj mengajak kami berjalan kami menyusuri tepi danau ke arah utara, menuju ke hutan yang tampak sangat jauh di depan sana. Seperti di Indonesia, banyak penduduk lokal yang sedang berwisata di tempat ini. Tampak beberapa buah bus yang terparkir di lapangan yang luas, dengan beberapa rombongan orang dari berbagai usia. Mereka menggelar tikar, membawa alat-alat masak, bahkan meja dan air galon. Ada yang menyetel musik menggunakan speaker dengan volume yang keras sekali, seperti sedang berpesta. Anak-anak kecil tampak bermain dan berlarian, padahal matahari bersinar sangat terik. Suasananya tampak ramai dan Indonesia sekali.




Menyusuri jalan setapak yang panas, jalannya relatif agak menanjak dan akhirnya memasuki area hutan. Di area ini tidak tampak adanya orang lain selain kami berlima. Setelah berjalan dan terus berjalan, sementara jalan setepak ini tampak tiada ujungnya dan view danaunya sendiri banyak tertutup pepohonan, aku mengusulkan untuk istirahat sekaligus makan siang terlebih dahulu, karena waktu sudah menunjukkan jam 11 siang dan sepertinya kami semua mulai lapar.




Kami pun berhenti di tempat yang cukup teduh dan makan bersama. Karena kakiku masih sangat sakit untuk jongkok, aku duduk di semak-semak, dan selama duduk ini beberapa kali ada rasa gatal yang mencekit di pinggang belakangku. Ternyata aku digigit oleh hewan-hewan yang kecil sekali, tapi bentuknya seperti lintah. Akhirnya aku tidak berani lagi duduk di semak-semak.

Sementara itu, aku pun membagikan snack yang kubeli sebelumnya, dan ternyata David suka sekali makan motichur ko laddu, sampai hendak membeli lagi nanti saat pulang.



Usai makan, kami memutuskan untuk kembali, karena untuk ke sisi lain danau ini jalannya masih sangat jauh, dan Nadia mengingatkan Suraj bahwa kakiku masih sakit kalau dipakai jalan terlalu lama. Akhirnya kami berjalan menuju arah datang tadi. Sempat berpapasan dengan beberapa ibu-ibu yang minta difotokan oleh Suraj. Tepian danaunya juga sudah tampak jauh lebih ramai. Tampak beberapa orang yang sedang mencuci baju di danau. Ada juga yang sedang berenang. Sementara rombongan orang-orang yang naik bus tadi masih banyak yang beraktivitas di lapangan.




Kami berjalan sampai ke sisi lain danau, dekat dengan pintu masuk. Di tempat ini banyak sekali perahu-perahu yang tampak berlabuh di pinggi danau, menanti penumpang yang menyewa untuk berkeliling danau. Semua perahunya berwarna kuning, dan dari beberapa kali melihat perahu yang sedang berkeliling, kebanyakan yang mendayung justru perempuan. Tiap penumpang juga mengenakan pelampung untuk keselamatan.




Kami duduk-duduk di pinggir sambil mengamati orang-orang yang beraktivitas dan berlalu-lalang. Semakin siang, tempat ini semakin ramai pengunjungnya. Kami berada di sini sampai sekitar jam 12.30 siang. Saat berjalan menuju keluar, tampak seorang ibu yang berjualan street snack, dan Suraj menyarankan aku untuk mencoba makanan ini. Namanya chatpate. Isinya campur-campur, ada kacang-kacangan, puffy rice, bengkoang, timun, yang dicampur dengan semacam snack mie kering, lalu diberi bumbu macam-macam, mulai dari garam, bawang merah, bubuk masala, saus, dan entah apa lagi. Rasanya asin manis asam dan pedas. Pedasnya bisa disesuaikan dengan permintaan. Harganya hanya NRs 30 saja, dan jumlahnya cukup banyak. Ditempatkan dalam plastik bekas snack sebelumnya, dan sendoknya dari kertas yang agak tebal (dan kelihatannya bekas hahahaha). Aku pribadi kurang cocok dengan makanan ini. Masih lebih enak pani puri kesukaanku hehehehe...

David juga sempat membeli buah-buahan dari seorang pedagang kaki lima.



Sambil menghabiskan chatpate yang tersisa, kami berlima berjalan menuju ke terminal bus tempat kami datang tadi. Sesampainya di terminal, kami menunggu sekitar 10 menit sampai ada bus yang arahnya sesuai dengan tujuan kami, yaitu kembali ke Prithvi Highway. Kami melewati jalan yang sama dengan waktu kami berangkat. Matahari bersinar dengan terik sepanjang perjalanan. Makin lama bus juga makin penuh dengan penumpang, bahkan sempat ada beberapa orang ibu-ibu yang naik dan semuanya berdiri. Mereka berpakaian dan berdandan cantik, dengan banyak perhiasan bergelantungan mulai dari telinga, leher, sampai pergelangan tangan. Warna baju mereka kebanyakan merah, sepertinya hendak menghadiri resepsi, mungkin pernikahan.




Aku sempat tertidur di perjalanan karena lelah dan panas. Ternyata suamiku juga tertidur saat aku terbangun. Tidak lama setelah itu, kami sudah sampai di Prithvi Highway. Kami menyeberang jalan dan mengantar David membeli motichur ko laddu di toko yang sama. Aku sempat mencicipi jajanan lain, roshogolla, yang kupikir tadinya seperti kue mochi, hanya besarnya seperti bola ping pong. Sebetulnya mungkin enak, teksturnya lembut dan agak kenyal, namun ternyata manis sekali, dan masih direndam dalam air gula pula. Aku hanya mencicipi sedikit saja. Akhirnya aku dan suamiku membeli es krim saking panasnya udara. Harga es krim untuk satu cup kecil NRs 70.




Dari toko makanan ini, kami berjalan kaki sampai sekitar beberapa ratus meter sampai akhirnya mendapatkan angkutan umum yang menuju ke Camping Chowk. Kendaraannya sendiri sudah agak penuh, tapi masih ada beberapa bangku kosong. Aku dan suamiku duduk di depan, supaya bisa memotret dan merekam suasana di jalan.




Tidak lama kemudian, kami pun sampai di Hallan Chowk. Total uang transport untuk ke Begnas Lake ini hanya NRs 100/orang pulang pergi. Murah sekali ya?

Di terminal kecil ini aku dan suamiku berpisah dengan Suraj, David dan Nadia, karena mereka masih hendak membeli buah-buahan, sementara kami berdua hendak booking kamar untuk besok.

Kami menuju ke Memory Guesthouse, penginapan yang dipilih suamiku. Katanya tempatnya agak lumayan dibanding yang lain, dan lokasinya juga tidak terlalu jauh dari Hallan Chowk, tempat kami akan menunggu bus ke Kathmandu.

Waktu suamiku bertanya tarif kamar di Memory Guesthouse beberapa hari lalu, kata pemiliknya NRs 700 per malam. Tapi waktu kami datang kali ini, yang menyambut adalah seorang perempuan muda, mungkin istrinya. Kami melihat dulu kamarnya, dan setelah cocok, kutanya, berapa per malam? Eh dia malah balik bertanya, kamu mau bayar berapa?
Maka coba kujawab 500, dan ternyata OK katanya. Jadilah kami booking untuk satu malam di tempat ini dengan harga NRs 500 hehehehe... murah banget ya... Itu pun kami hanya membayar uang muka dulu sebesar NRs 200, dan sisanya besok saat sudah di sana.

Setelah urusan akomodasi beres, kami mampir ke sebuah cafe untuk istirahat sejenak. Harga kopi susu di tempat ini NRs 75, namun ternyata gelasnya besar daripada biasanya dan kopi susunya juga enak.

Selesai ngopi barulah kami berjalan pulang, dan sampai di Chautari sudah jam 3.30 sore. Kami mandi dulu, lalu istirahat sejenak untuk melepaskan lelah. Suamiku sempat memotret Suraj sementara aku membereskan barang-barang kami.



Malam harinya, kami makan bersama dengan menu dal bhat masakan Suraj, dan karena kali ini cabenya habis, aku menambahkan cabe bubuk untuk makan. Kami mengobrol sampai sekitar jam 9 malam, lalu tidur.



Sesungguhnya, hampir setiap malam selama menginap di Chautari ini, walaupun aku selalu tidur paling awal dibandingkan yang lain, tidurku tidaklah terlalu nyenyak. Seringkali aku terjaga, kadang bisa sampai 4-5 kali dalam semalam. Salah satu faktor yang pasti karena kasur yang sangat keras, sehingga punggungku terasa sakit. Selain itu juga karena kedua kakiku yang sakit, sehingga tidak nyaman untuk meregangkan badan. Karenanya walaupun sebenarnya aku sedih harus meninggalkan tempat ini, di lain pihak aku senang karena besok kami akan bisa tidur di kasur yang mungkin lebih nyaman ^_^



23 November 2017


Hari terakhir di Chautari.

Sepagian kami habiskan untuk berbenah dan membersihkan tempat ini sebisanya sebelum kami tinggalkan. Saat Suraj bangun, kami menanyakan total yang harus kami bayar selama di tempat ini, dan sesuai dengan omongannya beberapa hari sebelumnya, totalnya adalah 11 malam dikalikan NRs 350, yaitu NRs 3,850. Kami memberikan NRs 4,000 kepadanya dan mengatakan kepadanya tidak usah dikembalikan sisanya. Kutinggalkan juga sandal jepitku untuk dipakai Suraj, karena sandal jepit Suraj masih saja yang putus itu.

Biasanya, dua atau tiga hari sekali, suamiku bersama David dan Nadia atau Cyp pergi ke sumber air yang langsung keluar dari bebatuan untuk mengambil air bersih yang bisa langsung diminum. Aku tidak pernah ikut mengambil air karena suamiku kuatir kakiku akan tambah sakit. Awalnya sebelum kami datang, botol-botol air 1 liter dimasukkan ke dalam karung beras, lalu dibawa ke sumber air. Suraj sendiri membawa ember besar yang biasa diletakkan di dapur. Air dalam ember inilah yang biasanya dipakai untuk masak, sedangkan air di dalam botol-botol biasanya untuk langsung diminum atau membuat teh dan kopi. Sejak pertama suamiku ikut mengambil air, aku menyarankan untuk membawa botol-botol tersebut dengan backpack, jadi bisa membawa lebih banyak botol dan membawanya pun lebih mudah. Namun karena backpack kami sudah ditata, hari ini botol-botol yang ada dibawa dengan karung.

Pagi ini, karena Suraj sedang sibuk, aku dan suamiku pergi berdua untuk mengambil air, karena persediaan air minum sudah hampir habis. Jalan kakinya hanya sekitar 5 menitan, tapi memang cukup berbatu-batu dan banyak yang basah atau tergenang air.
Ternyata mata airnya cukup tersembunyi, seperti di dalam gua kecil, jadi harus menyodorkan tangan ke dalamnya untuk mengisi botol-botol yang ada.
Suamiku sepertinya kesulitan mengisinya, jadi akhirnya aku yang mengisi semua botol yang ada, karena badanku yang kecil bisa sedikit masuk ke dalam gua mungil ini. Saat sedang mengisi inilah, David dan Nadia datang. David membawa ember besar yang biasanya dibawa oleh Suraj, dan Nadia membawa beberapa botol lagi. Jadi kuisikan semua botol dan ember ini, dan ternyata membuat pinggang lumayan pegal juga hehehehe...



Setelah itu kami hanya bersantai sambil menunggu saat kami meninggalkan tempat ini. Kata Suraj, sebaiknya setelah makan siang saja. David dan Nadia juga akan pergi ke Lakeside untuk membeli tiket bus untuk beberapa hari lagi, jadi supaya mereka bisa mengantar kami dan membantu membawakan barang-barang kami.

Untuk makan siang terakhir kami di Chautari, Suraj masak nasi goreng. Kami makan bersama sambil mengobrol. Bahkan Kale pun tampak sedih, sepertinya dia mengerti bahwa kami akan pergi meninggalkannya.



Baru sekitar jam 3 sore Suraj siap untuk mengantar kami. Jadi kami berdua hanya membawa backpack kami (yang masih saja tetap berat), sementara kedua bungkusan yang nantinya akan menjadi bagasi dibawakan oleh Suraj dan David.
Menyusuri pematang sawah dan jalan setapak penuh batu ini untuk terakhir kalinya, ada rasa sedih juga sebetulnya. Semua yang berada di Chautari ini sudah bagaikan sebuah keluarga besar. Kale masih mengikuti kami hanya sampai ke jalan besar saja.
Kami menyempatkan mampir ke warung langganan kami di tepi jalan besar untuk berpamitan kepada pemiliknya, sekaligus aku ingin membelikan beberapa kebutuhan dapur untuk Suraj, seperti gula, minyak, dan sabun cuci piring.

Sampai di Lakeside, aku pikir kami akan berpencar, karena Suraj, David dan Nadia akan ke agen tiket, tapi ternyata mereka bertiga bersikeras untuk mengantar kami sampai ke guesthouse, jadi kami pun bersama-sama ke Memory Guesthouse. Beruntung sekali ya, ada yang membantu membawakan barang-barang kami.



Sesampai di guesthouse, ternyata kami diberi kamar yang lain dengan yang kemarin ditunjukkan, namun kamar yang ini justru lebih besar, ada satu kasur double dan satu kasur single. David dan Nadia pun terkesan karena harganya yang murah dan kondisi kamar yang sudah cukup modern. View dari kamar menghadap ke Lakeside Road yang menyenangkan untuk dilihat. Setelah itu kami semua saling mengucapkan salam perpisahan, dengan harapan akan bertemu lagi.



Selesai membenahi barang-barang, kami bergantian mandi. Akhirnya kami bisa merasakan mandi air hangat walaupun tidak sampai panas benar airnya. Tidak kusia-siakan kesempatan ini untuk keramas dan berlama-lama mandi hehehehe...
Usai mandi, kami langsung bersiap-siap hendak berjalan-jalan di sekitar Lakeside untuk terakhir kali. Jam 4.30 sore kami mulai menyusuri jalanan di pinggiran area Lakeside. Suasananya cenderung agak sepi. Suamiku sempat membelikan obat batuk untukku, karena batuk pilekku tidak kunjung sembuh juga selama lebih dari seminggu ini. Sekitar jam 5 sore, matahari sudah mulai tampak tenggelam di balik pegunungan di sisi barat.
Kami masih sempat masuk ke sebuah supermarket yang tampaknya modern untuk melihat-lihat, dan setelah itu baru kembali ke penginapan untuk beristirahat sebentar.



Sekitar jam 6.30 petang, kami kembali keluar dari penginapan untuk mencari makan malam. Baru sebentar berjalan, kami berjumpa lagi dengan Suraj, David dan Nadia! Maka kami pun sepakat untuk makan malam bersama. Suraj mengajak kami ke Phewa Marga yang mengarah ke danau. Katanya kalau malam hari banyak rumah makan yang menyediakan barbeque di sepanjang jalan ini.

Kami pun memilih salah satu rumah makan di jalan kecil ini, dan memesan makanan sesuai keinginan kami. Menunya bermacam-macam sekali, dari yang digoreng sampai yang dibakar. Kami memesan ayam goreng, ikan goreng, kentang goreng, sate babi, dan sate jeroan. Karena ayam di sini rata-rata warnanya merah, aku pun bertanya kepada Suraj, warna merahnya berasal dari apa, dan katanya berasal dari semacam bunga. Mungkin mirip-mirip dengan di Indonesia yang menggunakan kunyit untuk ayam goreng ya, supaya warnanya tampak lebih menarik.



Kami berlima makan sampai kenyang sekali, karena ada beberapa menu yang dipesan beberapa porsi. Total tagihannya NRs 1,800, dan kami berdua urunan dengan David dan Nadia masing-masing NRs 900.
Usai makan, kami berjalan bersama menyusuri tepi danau. Suasananya gelap sekali karena tidak ada lampu penerangan di jalan setapak ini. Tampak ada beberapa penjual makanan yang menantikan pembeli di sepanjang tepian danau ini. Mereka hanya menggunakan lampu kecil yang remang-remang.



Suraj, David dan Nadia mengantar kami sampai ke Memory Guesthouse, dan kali ini kami benar-benar mengucapkan perpisahan. Setelah itu mereka bertiga pun berpamitan untuk pulang kembali ke Chautari. Cukup melegakan juga bahwa kami tidak perlu berjalan jauh lagi untuk istirahat hehehehe...

Setelah mempersiapkan semua barang untuk esok pagi, kami masih mengobrol sebelum akhirnya istirahat, karena perjalanan naik bus besok bisa jadi akan melelahkan sekali...


To be continued.......

No comments:

Post a Comment