26 November 2017
Tidurku semalam cukup nyenyak, dan karena sudah terbiasa bangun sangat pagi, walaupun aku ingin bangun agak siang, tetap saja subuh sudah terbangun dan tidak bisa tidur lagi. Suamiku juga sudah bangun sekitar jam 6 pagi. Kompor camping yang kubawa betul-betul amat-sangat berguna, terutama dalam keadaan seperti ini, di mana pihak hotel tidak menyediakan sarapan sama sekali. Kami bisa tetap ngopi dengan nyaman setiap pagi di dalam kamar dengan gelas plastik yang kubawa.
Suhu di Kathmandu ternyata lebih dingin dari Pokhara. Aku baru menyadari bahwa Kathmandu berada di posisi yang lebih tinggi dari Pokhara, dan karenanya walaupun wilayahnya berupa kota dan padat perumahan dan penduduk, udaranya lebih dingin dan kering.
Kami menghabiskan pagi hari di kamar yang sempit ini, mengamati keadaan di luar jendela. Maklum tidak ada kerjaan, hanya tinggal menunggu waktu check-out saja untuk pindah penginapan, baru setelah itu kami akan berjalan-jalan. Barang-barang sudah kami benahi ke dalam backpack, hanya tinggal peralatan mandi saja yang masih berada di luar.
Bangunan-bangunan di area ini rata-rata bertingkat dan tampak kumuh. Banyak pakaian yang dijemur di tali yang digantungkan di luar jendela, padahal letak jendelanya di lantai 2, 3, bahkan lantai 4 dan tidak ada terasnya lho... Entah bagaimana cara mereka menjemurnya. Banyak juga yang dijemur di puncak-puncak tembok bangunan. Entahlah, apa bukannya jadi kotor lagi ya, kalau dijemur seperti itu.
Menjelang jam 7 pagi, tampak seorang pemuda tukang sampah, yang mengambili sampah-sampah yang ditumpuk begitu saja di tepi jalan. Dia mengambil tumpukan sampah tersebut tanpa sarung tangan, dan untuk sampah-sampah kecil yang berserakan, diambilnya hanya dengan dua buah sekrok kecil. Semua sampah tersebut dimasukannya ke dalam bak sampah yang diangkutnya menggunakan sebuah sepeda kayuh beroda tiga, yang sepertinya hasil modifikasi dari sepeda jengki.
Di sebelah bangunan di seberang kami ini, tampak ada sebuah platform yang tampak seperti arena dari kejauhan. Kalau kata suamiku, sepertinya semacam tempat untuk pertunjukan dan sekaligus untuk sembahyang juga. Di dalamnya juga sepertinya terdapat sumber air, karena banyak orang yang mengambil air dari tempat tersebut.
Tidak lama kemudian, tampak dua orang berpakaian biksu yang sepertinya sedang berkeliling minta sumbangan. Salah seorang di antara mereka membawa alat yang berbunyi klining-klining. Sepasang suami istri keluar dari lantai dasar bangunan di seberang kami, lalu sang istri tampaknya masuk untuk mengambil uang dan kemudian meyerahkannya kepada salah satu biksu tersebut, sementara sang suami sibuk membasuh muka di tepi jalan hanya dengan membawa segayung air. Setelah sumbangan diserahkan, tampaknya si biksu berdoa, baru lalu meninggalkan rumah tersebut.
Sementara itu ternyata tampak ada 4 orang lain yang berpakaian biksu juga, yang berjalan ke arah yang lain, dan sepertinya minta sumbangan dari rumah-rumah yang lainnya. Jadi mungkin mereka sekelompok dan kemudian berpencar untuk mencari sumbangan dari penduduk.
Tidak terasa waktu berlalu, dan menjelang jam 8 pagi tampak seorang ibu di bangunan seberang yang sedang khusuk berdoa, menyiapkan dupa dan sesajen. Saat difoto oleh suamiku, tampak ibu tersebut melirik ke arah kami. Mungkin suara kameranya terdengar sampai ke seberang sana hehehehe... Eh, tidak lama kemudian kami melihat si ibu tersebut sudah berada di atas atap, berdoa dan memberikan sesajen. Padahal di sampingnya tidak ada pagar pengaman sama sekali lho, kalau dilihat cukup menyeramkan karena tinggi sekali. Benar-benar adegan yang berbahaya...
Sekitar jam 8.20 pagi, kami bergantian mandi. Airnya sudah tidak bisa lagi panas seperti kemarin. Baru kemudian aku mengerti, rata-rata penginapan menggunakan pemanas air yang bersumber dari energi matahari, jadi kalau siang sampai sore (biasanya sampai sekitar jam 5 sore) airnya bisa panas sekali, tapi setelah itu sampai esok harinya maksimal hanya agak hangat saja.
Usai mandi, kami berdua langsung bersiap-siap, lalu check-out dari Hotel Bright Star setelah membayar di lobby. Dengan masing-masing menyandang backpack dan membawa sebuah bungkusan, kami pun berjalan kaki menyusuri Thamel.
Untuk yang baru pertama kali sampai, memang agak susah untuk mengenali jalan-jalan di dalam Thamel. Pada umumnya tidak ada papan nama yang menunjukkan nama-nama jalan. Mudahnya, Thamel ini bagaikan sekumpulan jalan yang tidak terorganisir. Tidak ada pula batas-batas yang jelas untuk menunjukkan areanya. Tapi akan lebih mudah kalau kita mengetahui pusatnya agar tidak mudah tersesat. Anggap saja pusat Thamel adalah pertigaan antara 3 supermarket di dekat Hot Breads Bakery (karena semua orang di Thamel tahu lokasi bakery ini). Dari pertigaan ini, kalau ke arah selatan akan menuju ke Durbar Square, ke tenggara menuju ke arah Thamel Marg (perhentian bus menuju ke Chitwan atau Pokhara), dan ke utara menuju ke Sam's Bar, dan lebih jauh lagi ke arah barat akan meuju ke Swayambunath Monkey Temple. Sebetulnya kalau kita terbiasa menggunakan Google Map atau offline map seperti Maps.Me, tidak perlu kuatir tersesat kok, semuanya mudah dicari.
Semenjak Oktober 2017, Thamel dibebaskan dari kendaraan, bahkan taxi pun dilarang masuk. Sebetulnya aturan ini bagus juga, karena cara paling baik dan menyenangkan untuk menjelajah Thamel adalah dengan berjalan kaki. Hotel-hotel masih bisa menawarkan penjemputan dari bandara dengan kendaraan pribadi. Namun, seperti kebanyakan peraturan lain di Nepal, dikuatirkan aturan larangan kendaraan ini tidak akan berlangsung lama. Sebelumnya, lalu lintas di Thamel sangat parah antara jam 4 sore sampai jam 7 malam, namun di waktu-waktu lainnya pun bukan berarti lancar.
Selain itu, kita juga harus berhati-hati karena banyak scam di area ini. Memang tidak melibatkan kekerasan fisik, namun para pelakunya lebih mengincar uang dari para turis yang lengah. Misalnya saja ada yang akan menawarkan diri sebagai guide atau mengantar kita ke suatu tempat, dan kemudian akan minta uang dalam jumlah besar (seperti yang hampir terjadi pada kami saat baru pertama datang ke sini). Banyak juga yang menawarkan dagangannya (biasanya sambil jalan berkeliling) namun harganya mahal sekali. Ada juga scam dalam bentuk ibu-ibu yang berdiri di luar toko yang menjual susu bersama bayi atau anaknya, dan akan mengemis kepada orang bahwa dia tidak mampu membeli susu untuk anaknya. Kalau ada yang kemudian mau membelikan susu untuknya, dia akan menjualnya kembali ke toko tersebut. Selain itu sebaiknya kita tidak memberi uang kepada pengemis, karena bagi orang Nepal sendiri perilaku tersebut dianggap merendahkan.
Usahakan untuk membawa semua dokumen yang penting di tempat yang aman, dan untuk jaga-jaga sebaiknya sediakan fotokopiannya. Pernah ada beberapa kejadian di mana orang asing dirampok semua barang berharganya, termasuk paspornya. Akan lebih baik lagi jika menyimpan nomor telepon polisi setempat (100) dan kedutaan besar.
Di area Thamel, stasiun polisi turis berlokasi di dekat Tourism Bank cabang Thamel. Mereka bertugas membantu turis asing yang menghadapi situasi darurat. Nomor telepon yang bisa dihubungi adalah +977-1-4247041 (Bhrikutimandap) dan +977-1-4700750 (Thamel). Email: policetourist@nepalpolice.gov.np.
Area Thamel dipenuhi segala macam toko yang menjual kerajinan hingga oleh-oleh. Pastikan untuk menawar harganya. Ada yang menyarankan untuk menawar harga sebesar 2/3 dari harga aslinya, tapi faktanya aku sering menawar harga hingga 1/3 harga aslinya hahahaha... dan kadang bisa mendapatkan separuh dari harga awal. Yang pasti, biarkan si penjualnya yang menyebutkan harga lebih dulu, baru kemudian kita tawar.
Kita bisa membeli hampir apa saja di Thamel. Beberapa barang yang dijual di mana-mana antara lain dupa, bendera mantra, dan pisau Kukri. Untuk trekking store, beberapa yang direkomendasikan adalah Sonam Trekking Sotre (yang memiliki beberapa cabang), Korean Trekking Store, dan tentunya kalau mencari yang original ada North Face, Mammut, dan Columbia di Tri Devi marg. Apabila kehabisan uang cash, ATM tersebar di mana-mana di distrik ini.
Pada umumnya toko-toko di Thamel buka dari jam 10 pagi hingga jam 8 malam, sedangkan restoran banyak yang sudah buka dari jam 7 pagi hingga jam 9 malam. Untuk makan, memang banyak sekali restoran di seputaran Thamel. Biasanya kalau ramai berarti kemungkinan enak atau murah, atau keduanya. Sebetulnya di area ini kebersihan makanannya dianggap lebih baik daripada tempat-tempat lain di Nepal. Katanya sih, kalau kita makan lebih dari sekali di sebuah restoran, pemiliknya cenderung akan mengajak mengobrol, tapi sepertinya tidak selalu begitu juga, karena kadang pemiliknya juga tidak terlalu paham bahasa Inggris hehehehe...
Menurutku pribadi, untuk makan sebaiknya kita berjalan sedikit keluar dari Thamel dan mencari restoran lokal. Biasanya tempat-tempat seperti ini akan menghidangkan makanan yang otentik dan harganya lebih murah daripada restoran-restoran di area turis. Kalau menurutku, sudah banyak restoran di area turis yang makanannya disesuaikan dengan lidah (pada umumnya) orang Western, dan pastinya harganya juga disesuaikan dengan kantong turis hehehehe...
Yang pasti, Thamel memang bukan untuk semua orang, dalam arti mungkin saja suasananya yang kacau balau dan chaotic, atau banyaknya pedagang yang menawarkan barang dagangannnya, atau bangunan-bangunan yang sebagian tampak kusam dan kumuh, akan membuat sebagian orang merasa tidak nyaman. Namun tidak untuk kami berdua, terutama untukku. Aku justru jatuh cinta pada Nepal pada saat pertama kali menginjakkan kakiku di Thamel ^_^
Jarak dari Hotel Bright Star ke Khangsar Guesthouse kurang lebih hampir 1 KM. Jalan-jalan kecil di Thamel yang kami lalui masih tampak belum terlalu ramai. Tampak beberapa orang yang berjalan kaki, sedangkan kendaraan yang lewat hanya satu dua. Toko-toko di sepanjang jalan yang biasanya penuh dengan manusia ini, kebanyakan masih belum buka. Aku paling suka berjalan kaki di jalanan di Thamel yang banyak bendera mantranya. Entah mengapa, bagiku tampak sangat indah dan menyenangkan. Tidak semua jalan digantungi bendera-bendera mantra ini, karenanya aku menikmati sekali kalau melalui jalan yang benderanya banyak dan besar-besar. Indah sekali!
Aku sebetulnya bukan tipe orang yang suka shopping, tapi entah mengapa, terutama selama di Thamel, aku tiba-tiba jadi suka sekali melihat syal dan pashmina yang dipajang dan digantung di toko-toko sepanjang area ini. Rasanya semuanya bagus-bagus dan ingin kubeli. Seperti pagi ini, bahkan dengan beban bawaan yang berat pun, saat itu aku melihat pashmina-pashmina indah yang dipajang, dan tertarik untuk melihat-lihat. Akhirnya aku membeli 2 buah pashmina untuk oleh-oleh buat yang di rumah, dan kemudian mampir di toko lain lagi untuk membeli pashmina dan syal bulu yak untuk putriku. Kebetulan aku dapat harga yang murah, untuk pashminanya masing-masing NRs 300 dan syalnya NRs 400 dengan kualitas menengah.
Kami sampai di Khangsar Guesthouse sekitar jam 9.30 pagi, dan staff yang menyambut kami segera memberikan kunci kamar kepada kami. Setelah menaiki sekitar 115 anak tangga, sampailah kami di kamar yang kami lihat semalam. Setiap kali akan keluar atau kembali ke kamar kami, itulah jumlah anak tangga yang harus kami lalui. Jadi kalau sehari beberapa kali pulang pergi, tinggal dikalikan saja deh naik atau turun tangganya hehehehe...
Senang sekali rasanya pindah ke penginapan ini. Kamarnya cukup luas, sehingga tidak perlu berdesak-desakan menata barang. Sebuah handuk yang putih bersih sudah dilipat dengan rapi dan disiapkan di atas kasur. Sebuah sabun batang berukuran kecil juga ada di dalam kamar mandi. Pada umummya penginapan atau hotel di sini menyediakan sabun kecil seperti ini, dan kadang ada shampoo sachetan juga.
Usai membereskan barang-barang, kami jalan keluar hendak mencari secangkir kopi susu. Di ujung gang tempat Khangsar Guesthouse ini berada, tampak sebuah plang bertuliskan Sunflower Cafe, jadi kami menuju ke sana, dan suamiku memesan secangkir kopi susu seharga NRs 75. Setelah ngopi, kami kembali ke kamar untuk bersitirahat. Aku sempat tertidur selama 1 jam, lalu terbangun jam 12 siang, dan kami pun bersiap pergi untuk mencari makan siang.
Jalan-jalan kecil di area Thamel sudah mulai ramai dengan manusia dan kendaraan. Walaupun matahari bersinar terik, udaranya tidak panas. Setelah berjalan kesana kemari, akhirnya kami memutuskan masuk ke Momo Star Restaurant. Sebelumnya kami sempat akan makan di sebuah restoran fast food, tapi sepertinya mahal dan menunya tidak tampak menarik. Di Momo Star Restaurant ini tersedia berbagai macam menu lokal dan beberapa menu asing, bahkan ada menu dengan nama Nasi Goreng dan Bami Goreng hahahaha....
Suamiku memesan seporsi buff fried rice seharga NRs 300. Aku sendiri tidak terlalu lapar dan berencana akan mencari street snack saja nanti. Selain kami tampak beberapa tamu lain yang hendak makan siang juga. Cukup lama juga menunggu nasi gorengnya siap dihidangkan, sekitar 25 menit, dan porsinya pun tidak jumbo seperti biasanya. Dagingnya pun ternyata hanya sepotong dan digoreng terpisah dengan nasinya. Beginilah kalau membeli makanan di area yang touristy, agak mahal dan sejujurnya agak kurang memuaskan, padahal restoran ini masuk salah satu rekomendasi di salah satu blog milik orang Western lho...
Selesai makan siang, kami berjalan-jalan lagi, menuju ke area yang jarang kami lewati di pinggiran Thamel, dekat dengan Hotel Bright Star. Saat itulah aku melihat sebuah warung yang menjual aneka snack khas Nepal. Aku membeli dua buah chapati seharga @NRs 30, dan memakannya sambil berjalan. Kemudian kami lewat di sebuah warung kecil bernama Fidim (Feed Him Fast Food), yang ternyata menjual aneka makanan khas lokal juga. Dari daftar menu yang terpampang di luarnya, sepertinya harganya murah sekali, jadi kami coba mampir, dan membeli seporsi snack yang kalau di Indonesia seperti kulit pangsit goreng tanpa isian. Rasanya enak dan harganya juga murah, hanya NRs 40, dan secangkir black tea hanya NRs 20.
Kami makan di dalam warung ini, yang tempatnya bisa dibilang sangat-sangat sederhana sekali, bahkan terkesan agak suram, namun pemiliknya ramah dan menyenangkan. Selain kulit pangsit goreng, di tempat ini juga tersedia chapati, masakan kentang, nasi, telur rebus, kacang-kacangan, kuah kari, dan jeroan goreng.
Setelah makan dan membayar, kami pun keluar dari Fidim dan melihat seorang ibu pedagang sayuran di tepi jalan. Aku pun membeli beberapa buah tomat dan timun untuk kumakan dalam beberapa hari ke depan. Biasanya di rumah aku hanya makan sayuran dan buah-buahan, karena selama hampir sebulan ini makan nasi dan segala macam makanan lainnya, ingin juga kembali makan sehat seperti di rumah. Harga sayuran di sini juga tidak terlalu jauh berbeda dengan di Indonesia. Kalau dibandingkan dengan Banyuwangi tentunya lebih mahal, tapi mungkin tidak semahal harga di kota-kota besar di Indonesia.
Menyusuri lagi jalanan di seputar Thamel, suamiku membeli sebuah roti di Hot Bread (NRs 105) untuk berjaga-jaga kalau lapar, dan aku membeli dua buah pani puri (total NRs 20) dari seorang pedagang kaki lima di tepi jalan. Setelah itu kami kami belanja cukup banyak barang, utamanya untuk oleh-oleh. Mulai dream catcher dan syal untuk putriku, aksesoris kalung dan gelang untuk suamiku, bendera mantra seperti yang digantung-gantung di jalan, beanie, kaos, sampai snack untuk orang-orang di rumah. Cari kaos inilah yang agak susah, karena rata-rata penjualnya buka harga tinggi dan agak sulit ditawar murah, sampai akhirnya kami menemukan sebuah toko yang menjual khusus kaos-kaos dan harganya bisa ditawar sampai NRs 300 per buahnya. Kualitas bahan kainnya juga bagus, bukan yang murahan. Untungnya semua belanjaan ini muat dimasukkan ke dalam dua buah ransel kecil yang kami bawa.
Setelah merasa cukup berbelanja oleh-oleh, kami pun kembali ke penginapan untuk mandi dan istirahat sejenak. Waktu menunjukkan jam 3.20 sore, dan mumpung air showernya bisa panas, kami pun bergantian mandi. Setelah itu kami masih mengistirahatkan kaki yang cukup banyak berjalan hari ini. Kakiku masih tetap saja sakit terutama apabila jalannya tidak rata. Kami juga sempat melihat-lihat suasana di luar kamar di lantai 4 ini dan memotret keadaan sekitar saat matahari hampir terbenam.
Sekitar jam 5 sore, kami hendak berjalan-jalan sekalian mencari makan malam, dan suamiku ingin mencoba restoran yang terletak di ujung gang, di atas cafe tempat kami ngopi pagi tadi. Masuk ke dalam restoran, suasananya gelap dan di beberapa tempat agak bau pesing. Aku sudah agak ilfil, tapi masih mencoba melanjutkan naik sampai ke rooftop. Tampak ada beberapa orang yang sedang nongkrong di tempat ini. Kami mencari meja yang kosong, dan duduk di sana. Mejanya tampak berdebu, dan sebuah menu tergeletak di atasnya. Aku melihat isi menunya, dan makanannya rata-rata standar, dengan harga yang cukup mahal pula. Tapi yang akhirnya membuat kami membatalkan niat untuk makan malam di tempat ini adalah karena tidak ada seorang pun yang datang untuk melayani kami. Akhirnya kami pun turun dan meninggalkan tempat ini.
Tanpa tahu hendak makan di mana, kami pun berjalan ke ujung JP Marg, sampai di perlimaan yang ramai dan cukup kacau balau lalu lintasnya. Kami pun menyeberang jalan dan masuk ke jalan yang sedikit serong ke kanan, Yapikhya Marg. Di awal jalan tampak beberapa toko, lalu ada pula penjual ikan yang memajang ikannya yang besar-besar di atas meja di tepi jalan yang berdebu ini. Setelah itu tampak dua buah warung makan yang bersebelahan, sementara di sebelahnya lagi ada penjual daging ayam yang dagangannya dipajang begitu saja di atas meja. Kami memutuskan masuk ke warung kedua, di mana tampak ada masakan yang sepertinya menarik. Aku bertanya kepada penjualnya, daging apa yang dijualnya ini, dan katanya daging ayam. Aku mengatakan kepada suamiku, kalau mau beli masakan ayam ini saja, dan makan di Fidim, tempat kami membeli pangsit goreng tadi siang. Aku ingin mencoba masakan kentang yang ada di sana. Suamiku setuju, maka aku pun memesan 1 porsi chicken tash untuk dibawa pulang setelah bertanya harganya terlebih dahulu. Seporsi harganya NRs 100, dan ternyata porsinya cukup banyak juga, satu buah wadah aluminium foil diisi penuh dengan masakan ini.
Setelah itu kami berjalan kembali menuju ke Fidim Fast Food di ujung Thamel Marg. Sebetulnya lumayan jauh juga sih, tapi sekalian jalan-jalan menikmati suasana jadi tidak terasa. Sesampai di Fidim, kami memesan seporsi nasi putih, masakan kentang, jeroan, kuah, kulit pangsit goreng, dan secangkir black tea. Tidak terlalu lama setelah semua pesanan kami dipanasi, semua hidangan sudah tersedia di atas meja. Mewah sekali rasanya makan malam kali ini.
Nasinya enak dan porsinya super jumbo. Kentangnya dimasak kari, dan jeroannya (sepertinya usus sapi/kerbau) digoreng. Kami berdua makan sampai perut rasanya benar-benar penuh dan kekenyangan. Semua makanan dan minuman yang kami makan di Fidim ini harganya NRs 255. Jadi dengan total NRs 355 (sekitar 46 ribu rupiah) kami bisa makan dengan sangat mewah dan sangat kenyang.
Usai makan malam, kami masih berjalan-jalan di Thamel dan sekitarnya, menikmati suasana malam. Jalanan masih cukup ramai dengan manusia. Kami juga membeli susu sapi untuk membuat kopi di ujung JP Marg. Harganya NRs 35 untuk kemasan 500 ml. Kios kecil tempat menjual susu ini juga menjual berbagai macam roti dan keju dari yak maupun sapi. Aku berencana ingin membeli keju ini sebelum pulang dan membawanya ke Indonesia.
Karena merasa sudah cukup lelah dan kekenyangan, akhirnya kami pun kembali ke Khangsar Guesthouse dan beristirahat di dalam kamar...
To be continued......Suhu di Kathmandu ternyata lebih dingin dari Pokhara. Aku baru menyadari bahwa Kathmandu berada di posisi yang lebih tinggi dari Pokhara, dan karenanya walaupun wilayahnya berupa kota dan padat perumahan dan penduduk, udaranya lebih dingin dan kering.
Kami menghabiskan pagi hari di kamar yang sempit ini, mengamati keadaan di luar jendela. Maklum tidak ada kerjaan, hanya tinggal menunggu waktu check-out saja untuk pindah penginapan, baru setelah itu kami akan berjalan-jalan. Barang-barang sudah kami benahi ke dalam backpack, hanya tinggal peralatan mandi saja yang masih berada di luar.
Bangunan-bangunan di area ini rata-rata bertingkat dan tampak kumuh. Banyak pakaian yang dijemur di tali yang digantungkan di luar jendela, padahal letak jendelanya di lantai 2, 3, bahkan lantai 4 dan tidak ada terasnya lho... Entah bagaimana cara mereka menjemurnya. Banyak juga yang dijemur di puncak-puncak tembok bangunan. Entahlah, apa bukannya jadi kotor lagi ya, kalau dijemur seperti itu.
Menjelang jam 7 pagi, tampak seorang pemuda tukang sampah, yang mengambili sampah-sampah yang ditumpuk begitu saja di tepi jalan. Dia mengambil tumpukan sampah tersebut tanpa sarung tangan, dan untuk sampah-sampah kecil yang berserakan, diambilnya hanya dengan dua buah sekrok kecil. Semua sampah tersebut dimasukannya ke dalam bak sampah yang diangkutnya menggunakan sebuah sepeda kayuh beroda tiga, yang sepertinya hasil modifikasi dari sepeda jengki.
Di sebelah bangunan di seberang kami ini, tampak ada sebuah platform yang tampak seperti arena dari kejauhan. Kalau kata suamiku, sepertinya semacam tempat untuk pertunjukan dan sekaligus untuk sembahyang juga. Di dalamnya juga sepertinya terdapat sumber air, karena banyak orang yang mengambil air dari tempat tersebut.
Tidak lama kemudian, tampak dua orang berpakaian biksu yang sepertinya sedang berkeliling minta sumbangan. Salah seorang di antara mereka membawa alat yang berbunyi klining-klining. Sepasang suami istri keluar dari lantai dasar bangunan di seberang kami, lalu sang istri tampaknya masuk untuk mengambil uang dan kemudian meyerahkannya kepada salah satu biksu tersebut, sementara sang suami sibuk membasuh muka di tepi jalan hanya dengan membawa segayung air. Setelah sumbangan diserahkan, tampaknya si biksu berdoa, baru lalu meninggalkan rumah tersebut.
Sementara itu ternyata tampak ada 4 orang lain yang berpakaian biksu juga, yang berjalan ke arah yang lain, dan sepertinya minta sumbangan dari rumah-rumah yang lainnya. Jadi mungkin mereka sekelompok dan kemudian berpencar untuk mencari sumbangan dari penduduk.
Tidak terasa waktu berlalu, dan menjelang jam 8 pagi tampak seorang ibu di bangunan seberang yang sedang khusuk berdoa, menyiapkan dupa dan sesajen. Saat difoto oleh suamiku, tampak ibu tersebut melirik ke arah kami. Mungkin suara kameranya terdengar sampai ke seberang sana hehehehe... Eh, tidak lama kemudian kami melihat si ibu tersebut sudah berada di atas atap, berdoa dan memberikan sesajen. Padahal di sampingnya tidak ada pagar pengaman sama sekali lho, kalau dilihat cukup menyeramkan karena tinggi sekali. Benar-benar adegan yang berbahaya...
Sekitar jam 8.20 pagi, kami bergantian mandi. Airnya sudah tidak bisa lagi panas seperti kemarin. Baru kemudian aku mengerti, rata-rata penginapan menggunakan pemanas air yang bersumber dari energi matahari, jadi kalau siang sampai sore (biasanya sampai sekitar jam 5 sore) airnya bisa panas sekali, tapi setelah itu sampai esok harinya maksimal hanya agak hangat saja.
Usai mandi, kami berdua langsung bersiap-siap, lalu check-out dari Hotel Bright Star setelah membayar di lobby. Dengan masing-masing menyandang backpack dan membawa sebuah bungkusan, kami pun berjalan kaki menyusuri Thamel.
Untuk yang baru pertama kali sampai, memang agak susah untuk mengenali jalan-jalan di dalam Thamel. Pada umumnya tidak ada papan nama yang menunjukkan nama-nama jalan. Mudahnya, Thamel ini bagaikan sekumpulan jalan yang tidak terorganisir. Tidak ada pula batas-batas yang jelas untuk menunjukkan areanya. Tapi akan lebih mudah kalau kita mengetahui pusatnya agar tidak mudah tersesat. Anggap saja pusat Thamel adalah pertigaan antara 3 supermarket di dekat Hot Breads Bakery (karena semua orang di Thamel tahu lokasi bakery ini). Dari pertigaan ini, kalau ke arah selatan akan menuju ke Durbar Square, ke tenggara menuju ke arah Thamel Marg (perhentian bus menuju ke Chitwan atau Pokhara), dan ke utara menuju ke Sam's Bar, dan lebih jauh lagi ke arah barat akan meuju ke Swayambunath Monkey Temple. Sebetulnya kalau kita terbiasa menggunakan Google Map atau offline map seperti Maps.Me, tidak perlu kuatir tersesat kok, semuanya mudah dicari.
Semenjak Oktober 2017, Thamel dibebaskan dari kendaraan, bahkan taxi pun dilarang masuk. Sebetulnya aturan ini bagus juga, karena cara paling baik dan menyenangkan untuk menjelajah Thamel adalah dengan berjalan kaki. Hotel-hotel masih bisa menawarkan penjemputan dari bandara dengan kendaraan pribadi. Namun, seperti kebanyakan peraturan lain di Nepal, dikuatirkan aturan larangan kendaraan ini tidak akan berlangsung lama. Sebelumnya, lalu lintas di Thamel sangat parah antara jam 4 sore sampai jam 7 malam, namun di waktu-waktu lainnya pun bukan berarti lancar.
Selain itu, kita juga harus berhati-hati karena banyak scam di area ini. Memang tidak melibatkan kekerasan fisik, namun para pelakunya lebih mengincar uang dari para turis yang lengah. Misalnya saja ada yang akan menawarkan diri sebagai guide atau mengantar kita ke suatu tempat, dan kemudian akan minta uang dalam jumlah besar (seperti yang hampir terjadi pada kami saat baru pertama datang ke sini). Banyak juga yang menawarkan dagangannya (biasanya sambil jalan berkeliling) namun harganya mahal sekali. Ada juga scam dalam bentuk ibu-ibu yang berdiri di luar toko yang menjual susu bersama bayi atau anaknya, dan akan mengemis kepada orang bahwa dia tidak mampu membeli susu untuk anaknya. Kalau ada yang kemudian mau membelikan susu untuknya, dia akan menjualnya kembali ke toko tersebut. Selain itu sebaiknya kita tidak memberi uang kepada pengemis, karena bagi orang Nepal sendiri perilaku tersebut dianggap merendahkan.
Di area Thamel, stasiun polisi turis berlokasi di dekat Tourism Bank cabang Thamel. Mereka bertugas membantu turis asing yang menghadapi situasi darurat. Nomor telepon yang bisa dihubungi adalah +977-1-4247041 (Bhrikutimandap) dan +977-1-4700750 (Thamel). Email: policetourist@nepalpolice.gov.np.
Area Thamel dipenuhi segala macam toko yang menjual kerajinan hingga oleh-oleh. Pastikan untuk menawar harganya. Ada yang menyarankan untuk menawar harga sebesar 2/3 dari harga aslinya, tapi faktanya aku sering menawar harga hingga 1/3 harga aslinya hahahaha... dan kadang bisa mendapatkan separuh dari harga awal. Yang pasti, biarkan si penjualnya yang menyebutkan harga lebih dulu, baru kemudian kita tawar.
Kita bisa membeli hampir apa saja di Thamel. Beberapa barang yang dijual di mana-mana antara lain dupa, bendera mantra, dan pisau Kukri. Untuk trekking store, beberapa yang direkomendasikan adalah Sonam Trekking Sotre (yang memiliki beberapa cabang), Korean Trekking Store, dan tentunya kalau mencari yang original ada North Face, Mammut, dan Columbia di Tri Devi marg. Apabila kehabisan uang cash, ATM tersebar di mana-mana di distrik ini.
Pada umumnya toko-toko di Thamel buka dari jam 10 pagi hingga jam 8 malam, sedangkan restoran banyak yang sudah buka dari jam 7 pagi hingga jam 9 malam. Untuk makan, memang banyak sekali restoran di seputaran Thamel. Biasanya kalau ramai berarti kemungkinan enak atau murah, atau keduanya. Sebetulnya di area ini kebersihan makanannya dianggap lebih baik daripada tempat-tempat lain di Nepal. Katanya sih, kalau kita makan lebih dari sekali di sebuah restoran, pemiliknya cenderung akan mengajak mengobrol, tapi sepertinya tidak selalu begitu juga, karena kadang pemiliknya juga tidak terlalu paham bahasa Inggris hehehehe...
Menurutku pribadi, untuk makan sebaiknya kita berjalan sedikit keluar dari Thamel dan mencari restoran lokal. Biasanya tempat-tempat seperti ini akan menghidangkan makanan yang otentik dan harganya lebih murah daripada restoran-restoran di area turis. Kalau menurutku, sudah banyak restoran di area turis yang makanannya disesuaikan dengan lidah (pada umumnya) orang Western, dan pastinya harganya juga disesuaikan dengan kantong turis hehehehe...
Yang pasti, Thamel memang bukan untuk semua orang, dalam arti mungkin saja suasananya yang kacau balau dan chaotic, atau banyaknya pedagang yang menawarkan barang dagangannnya, atau bangunan-bangunan yang sebagian tampak kusam dan kumuh, akan membuat sebagian orang merasa tidak nyaman. Namun tidak untuk kami berdua, terutama untukku. Aku justru jatuh cinta pada Nepal pada saat pertama kali menginjakkan kakiku di Thamel ^_^
Jarak dari Hotel Bright Star ke Khangsar Guesthouse kurang lebih hampir 1 KM. Jalan-jalan kecil di Thamel yang kami lalui masih tampak belum terlalu ramai. Tampak beberapa orang yang berjalan kaki, sedangkan kendaraan yang lewat hanya satu dua. Toko-toko di sepanjang jalan yang biasanya penuh dengan manusia ini, kebanyakan masih belum buka. Aku paling suka berjalan kaki di jalanan di Thamel yang banyak bendera mantranya. Entah mengapa, bagiku tampak sangat indah dan menyenangkan. Tidak semua jalan digantungi bendera-bendera mantra ini, karenanya aku menikmati sekali kalau melalui jalan yang benderanya banyak dan besar-besar. Indah sekali!
Aku sebetulnya bukan tipe orang yang suka shopping, tapi entah mengapa, terutama selama di Thamel, aku tiba-tiba jadi suka sekali melihat syal dan pashmina yang dipajang dan digantung di toko-toko sepanjang area ini. Rasanya semuanya bagus-bagus dan ingin kubeli. Seperti pagi ini, bahkan dengan beban bawaan yang berat pun, saat itu aku melihat pashmina-pashmina indah yang dipajang, dan tertarik untuk melihat-lihat. Akhirnya aku membeli 2 buah pashmina untuk oleh-oleh buat yang di rumah, dan kemudian mampir di toko lain lagi untuk membeli pashmina dan syal bulu yak untuk putriku. Kebetulan aku dapat harga yang murah, untuk pashminanya masing-masing NRs 300 dan syalnya NRs 400 dengan kualitas menengah.
Kami sampai di Khangsar Guesthouse sekitar jam 9.30 pagi, dan staff yang menyambut kami segera memberikan kunci kamar kepada kami. Setelah menaiki sekitar 115 anak tangga, sampailah kami di kamar yang kami lihat semalam. Setiap kali akan keluar atau kembali ke kamar kami, itulah jumlah anak tangga yang harus kami lalui. Jadi kalau sehari beberapa kali pulang pergi, tinggal dikalikan saja deh naik atau turun tangganya hehehehe...
Senang sekali rasanya pindah ke penginapan ini. Kamarnya cukup luas, sehingga tidak perlu berdesak-desakan menata barang. Sebuah handuk yang putih bersih sudah dilipat dengan rapi dan disiapkan di atas kasur. Sebuah sabun batang berukuran kecil juga ada di dalam kamar mandi. Pada umummya penginapan atau hotel di sini menyediakan sabun kecil seperti ini, dan kadang ada shampoo sachetan juga.
Usai membereskan barang-barang, kami jalan keluar hendak mencari secangkir kopi susu. Di ujung gang tempat Khangsar Guesthouse ini berada, tampak sebuah plang bertuliskan Sunflower Cafe, jadi kami menuju ke sana, dan suamiku memesan secangkir kopi susu seharga NRs 75. Setelah ngopi, kami kembali ke kamar untuk bersitirahat. Aku sempat tertidur selama 1 jam, lalu terbangun jam 12 siang, dan kami pun bersiap pergi untuk mencari makan siang.
Jalan-jalan kecil di area Thamel sudah mulai ramai dengan manusia dan kendaraan. Walaupun matahari bersinar terik, udaranya tidak panas. Setelah berjalan kesana kemari, akhirnya kami memutuskan masuk ke Momo Star Restaurant. Sebelumnya kami sempat akan makan di sebuah restoran fast food, tapi sepertinya mahal dan menunya tidak tampak menarik. Di Momo Star Restaurant ini tersedia berbagai macam menu lokal dan beberapa menu asing, bahkan ada menu dengan nama Nasi Goreng dan Bami Goreng hahahaha....
Suamiku memesan seporsi buff fried rice seharga NRs 300. Aku sendiri tidak terlalu lapar dan berencana akan mencari street snack saja nanti. Selain kami tampak beberapa tamu lain yang hendak makan siang juga. Cukup lama juga menunggu nasi gorengnya siap dihidangkan, sekitar 25 menit, dan porsinya pun tidak jumbo seperti biasanya. Dagingnya pun ternyata hanya sepotong dan digoreng terpisah dengan nasinya. Beginilah kalau membeli makanan di area yang touristy, agak mahal dan sejujurnya agak kurang memuaskan, padahal restoran ini masuk salah satu rekomendasi di salah satu blog milik orang Western lho...
Selesai makan siang, kami berjalan-jalan lagi, menuju ke area yang jarang kami lewati di pinggiran Thamel, dekat dengan Hotel Bright Star. Saat itulah aku melihat sebuah warung yang menjual aneka snack khas Nepal. Aku membeli dua buah chapati seharga @NRs 30, dan memakannya sambil berjalan. Kemudian kami lewat di sebuah warung kecil bernama Fidim (Feed Him Fast Food), yang ternyata menjual aneka makanan khas lokal juga. Dari daftar menu yang terpampang di luarnya, sepertinya harganya murah sekali, jadi kami coba mampir, dan membeli seporsi snack yang kalau di Indonesia seperti kulit pangsit goreng tanpa isian. Rasanya enak dan harganya juga murah, hanya NRs 40, dan secangkir black tea hanya NRs 20.
Kami makan di dalam warung ini, yang tempatnya bisa dibilang sangat-sangat sederhana sekali, bahkan terkesan agak suram, namun pemiliknya ramah dan menyenangkan. Selain kulit pangsit goreng, di tempat ini juga tersedia chapati, masakan kentang, nasi, telur rebus, kacang-kacangan, kuah kari, dan jeroan goreng.
Setelah makan dan membayar, kami pun keluar dari Fidim dan melihat seorang ibu pedagang sayuran di tepi jalan. Aku pun membeli beberapa buah tomat dan timun untuk kumakan dalam beberapa hari ke depan. Biasanya di rumah aku hanya makan sayuran dan buah-buahan, karena selama hampir sebulan ini makan nasi dan segala macam makanan lainnya, ingin juga kembali makan sehat seperti di rumah. Harga sayuran di sini juga tidak terlalu jauh berbeda dengan di Indonesia. Kalau dibandingkan dengan Banyuwangi tentunya lebih mahal, tapi mungkin tidak semahal harga di kota-kota besar di Indonesia.
Menyusuri lagi jalanan di seputar Thamel, suamiku membeli sebuah roti di Hot Bread (NRs 105) untuk berjaga-jaga kalau lapar, dan aku membeli dua buah pani puri (total NRs 20) dari seorang pedagang kaki lima di tepi jalan. Setelah itu kami kami belanja cukup banyak barang, utamanya untuk oleh-oleh. Mulai dream catcher dan syal untuk putriku, aksesoris kalung dan gelang untuk suamiku, bendera mantra seperti yang digantung-gantung di jalan, beanie, kaos, sampai snack untuk orang-orang di rumah. Cari kaos inilah yang agak susah, karena rata-rata penjualnya buka harga tinggi dan agak sulit ditawar murah, sampai akhirnya kami menemukan sebuah toko yang menjual khusus kaos-kaos dan harganya bisa ditawar sampai NRs 300 per buahnya. Kualitas bahan kainnya juga bagus, bukan yang murahan. Untungnya semua belanjaan ini muat dimasukkan ke dalam dua buah ransel kecil yang kami bawa.
Setelah merasa cukup berbelanja oleh-oleh, kami pun kembali ke penginapan untuk mandi dan istirahat sejenak. Waktu menunjukkan jam 3.20 sore, dan mumpung air showernya bisa panas, kami pun bergantian mandi. Setelah itu kami masih mengistirahatkan kaki yang cukup banyak berjalan hari ini. Kakiku masih tetap saja sakit terutama apabila jalannya tidak rata. Kami juga sempat melihat-lihat suasana di luar kamar di lantai 4 ini dan memotret keadaan sekitar saat matahari hampir terbenam.
Sekitar jam 5 sore, kami hendak berjalan-jalan sekalian mencari makan malam, dan suamiku ingin mencoba restoran yang terletak di ujung gang, di atas cafe tempat kami ngopi pagi tadi. Masuk ke dalam restoran, suasananya gelap dan di beberapa tempat agak bau pesing. Aku sudah agak ilfil, tapi masih mencoba melanjutkan naik sampai ke rooftop. Tampak ada beberapa orang yang sedang nongkrong di tempat ini. Kami mencari meja yang kosong, dan duduk di sana. Mejanya tampak berdebu, dan sebuah menu tergeletak di atasnya. Aku melihat isi menunya, dan makanannya rata-rata standar, dengan harga yang cukup mahal pula. Tapi yang akhirnya membuat kami membatalkan niat untuk makan malam di tempat ini adalah karena tidak ada seorang pun yang datang untuk melayani kami. Akhirnya kami pun turun dan meninggalkan tempat ini.
Tanpa tahu hendak makan di mana, kami pun berjalan ke ujung JP Marg, sampai di perlimaan yang ramai dan cukup kacau balau lalu lintasnya. Kami pun menyeberang jalan dan masuk ke jalan yang sedikit serong ke kanan, Yapikhya Marg. Di awal jalan tampak beberapa toko, lalu ada pula penjual ikan yang memajang ikannya yang besar-besar di atas meja di tepi jalan yang berdebu ini. Setelah itu tampak dua buah warung makan yang bersebelahan, sementara di sebelahnya lagi ada penjual daging ayam yang dagangannya dipajang begitu saja di atas meja. Kami memutuskan masuk ke warung kedua, di mana tampak ada masakan yang sepertinya menarik. Aku bertanya kepada penjualnya, daging apa yang dijualnya ini, dan katanya daging ayam. Aku mengatakan kepada suamiku, kalau mau beli masakan ayam ini saja, dan makan di Fidim, tempat kami membeli pangsit goreng tadi siang. Aku ingin mencoba masakan kentang yang ada di sana. Suamiku setuju, maka aku pun memesan 1 porsi chicken tash untuk dibawa pulang setelah bertanya harganya terlebih dahulu. Seporsi harganya NRs 100, dan ternyata porsinya cukup banyak juga, satu buah wadah aluminium foil diisi penuh dengan masakan ini.
Setelah itu kami berjalan kembali menuju ke Fidim Fast Food di ujung Thamel Marg. Sebetulnya lumayan jauh juga sih, tapi sekalian jalan-jalan menikmati suasana jadi tidak terasa. Sesampai di Fidim, kami memesan seporsi nasi putih, masakan kentang, jeroan, kuah, kulit pangsit goreng, dan secangkir black tea. Tidak terlalu lama setelah semua pesanan kami dipanasi, semua hidangan sudah tersedia di atas meja. Mewah sekali rasanya makan malam kali ini.
Nasinya enak dan porsinya super jumbo. Kentangnya dimasak kari, dan jeroannya (sepertinya usus sapi/kerbau) digoreng. Kami berdua makan sampai perut rasanya benar-benar penuh dan kekenyangan. Semua makanan dan minuman yang kami makan di Fidim ini harganya NRs 255. Jadi dengan total NRs 355 (sekitar 46 ribu rupiah) kami bisa makan dengan sangat mewah dan sangat kenyang.
Usai makan malam, kami masih berjalan-jalan di Thamel dan sekitarnya, menikmati suasana malam. Jalanan masih cukup ramai dengan manusia. Kami juga membeli susu sapi untuk membuat kopi di ujung JP Marg. Harganya NRs 35 untuk kemasan 500 ml. Kios kecil tempat menjual susu ini juga menjual berbagai macam roti dan keju dari yak maupun sapi. Aku berencana ingin membeli keju ini sebelum pulang dan membawanya ke Indonesia.
Karena merasa sudah cukup lelah dan kekenyangan, akhirnya kami pun kembali ke Khangsar Guesthouse dan beristirahat di dalam kamar...