DISCLAIMER

BLOG ini adalah karya pribadiku. Semua cerita di blog ini benar-benar terjadi dan merupakan pengalaman pribadiku. Referensi dan informasi umum aku ambil dari internet (misalnya wikipedia, google map, dan lain-lain).

SEMUA FOTO dan VIDEO yang ada di blog ini adalah karya pribadiku, suamiku, atau putriku, baik menggunakan kamera DSLR maupun smartphone. Jika ada yang bukan karya pribadi, akan disebutkan sumbernya.

Karena itu mohon untuk TIDAK menggunakan/mengcopy/mengedit isi cerita dan foto-foto yang ada di blog ini dan memanfaatkannya untuk keperluan komersial/umum tanpa ijin tertulis dariku.
Jika ingin mengcopy-paste isi maupun foto yang ada di blog ini untuk keperluan pribadi, diharapkan menyebutkan sumber dan link asal.

"JANGAN ASAL COPY-PASTE karena BLOG JUGA ADALAH HASIL KARYA CIPTA. Biasakan untuk meminta ijin kepada pemilik karya atau paling tidak menyebutkan sumber asal."

Wednesday, July 26, 2017

SHORT TRIP TO IJEN CRATER, 25 JULI 2017

Keputusan untuk mendaki Ijen kali ini cukup mendadak, baru dibuat 2 hari sebelumnya. Bawaan yang dipersiapkan pun tidak terlalu banyak, hanya jaket kain, beanie, sarung tangan, headlight, trekking pole, kamera, dan buah pisang untuk mengisi perut.

Malam sebelum berangkat, diusahakan tidur awal. Jam 21-21.30 sudah tidur, untuk kemudian bangun jam 2 pagi. Berangkat menuju ke Paltuding jam 2.50 pagi, dan tiba di tujuan jam 3.50 pagi. Seperti biasa, jalan menuju ke Paltuding selalu tampak menyeramkan bagiku, karena penuh dengan tanjakan dan tikungan tajam, apalagi kali ini banyak daerah yang kabutnya sangat tebal sehingga tidak bisa melihat jauh ke depan. Untung suami selalu sigap dan tangkas menangani jalan tanjakan, jadi aman deh ^_^

Setelah membeli tiket masuk, kami langsung mendaki. Sudah hampir tidak tampak orang lain yang mendaki, karena memang pada umumnya turis ingin melihat blue fire, dan pendakian biasanya dimulai sekitar jam 2 pagi.

Kurang dari 1 jam berjalan (kurang lebih 2 km jaraknya), sampailah kami di pos terakhir. Di sana asap belerang sudah mulai terasa sekali, dan baunya pun cukup menyengat. Para penambang dan guide yang mangkal di sana berkali-kali menawarkan masker walaupun sudah kami tolak. Karena memang tidak membawa masker, kami memutuskan berhenti dan menunggu. Di sanalah kami sempat bertemu dan mengobrol dengan Michael, pria 22 tahun asal New Zealand (rumahnya di Timaru) yang sudah 1 bulan berada di Indonesia (dan akan memperpanjang 1 bulan lagi visa kunjungannya karena masih ingin menjelajah Bali, Pulau Komodo, bahkan Sulawesi). Dia sudah sampai di puncak, sudah turun dan melihat blue fire, namun karena tebalnya asap belerang, dia memutuskan untuk turun ke pos dan menunggu di sana untuk kemudian naik lagi menjelang sunrise.

Mengobrol ngalor ngidul, tanpa terasa suasana mulai agak terang. Kami pun berjalan naik, tentunya Michael jalan lebih dulu karena kami banyak berhenti untuk memotret suasana di sekitar. Tidak berapa lama tampak Michael kembali turun, katanya dia akan kembali saja, karena melihat tebalnya asap dan kabut, sepertinya tidak akan ada harapan untuk menyaksikan sunrise. Jadi kami pun berpamitan dan sempat berfoto bersama.



Sampai di puncak, anginnya kencang dan dingin sekali, penuh kabut, namun untungnya asap belerang justru sudah tidak banyak lagi. Maka kami pun berjalan-jalan di puncak sambil mengambil foto. Sesekali angin menggiring kabut tebal sehingga danau di dasar kawah tampak warnanya, namun lebih sering kabut menutupi semuanya.



Suhu udara sepertinya cukup jauh di bawah 10 derajat Celcius, bahkan rata-rata turis asing pun mengenakan jaket dan penghangat badan lainnya. Apalagi turis domestik, banyak yang tampak kedinginan walaupun sudah mengenakan jaket, sarung tangan dan segala macamnya ^_^



Karena dingin dan sangat berkabut itulah, banyak pengunjung yang sudah mulai turun sebelum jam 6 pagi. Kami sendiri masih berkeliaran di puncak sampai mendekati jam 7 walaupun agak kedinginan dan tangan sampai kesemutan. Saat kami akan berjalan kembali turun, justru tampak matahari merekah di balik puncak bebatuan, menyinari awan di sekitarnya, indah sekali. Setelah itu pun, cuaca tampak cerah dengan sinar matahari yang memancar. What a lovely day!



Hari ini beberapa kali melihat jasa "taxi" yang ditawarkan oleh para penambang, ternyata memang dimanfaatkan oleh mereka yang mungkin secara fisik kurang kuat. Ada ibu-ibu turis domestik yang menyewa jasa ojek ini. Ada juga 2 orang anak berkewarganegaraan Perancis yang menaikinya semenjak pos terakhir. Bagiku, mendaki adalah perjuangan, bukan hanya mencari hasil akhir. Tapi mungkin beberapa orang memang tidak kuat secara fisik atau memang manja, sehingga tidak ingin melewati prosesnya dan ingin mencapai hasil akhir saja. Yah, setidaknya bisa jadi pemasukan bagi para penambang tersebut. Dan saat diperhatikan, "taxi" yang tadinya hanya berupa troli dorongan biasa untuk membawa hasil belerang, kini sudah diberi alas bantalan supaya penumpangnya lebih nyaman, jadi lebih mirip dengan becak mini ^_^

Salut untuk beberapa manula (turis asing sih) yang masih penuh semangat mendaki tanpa bantuan "taxi" tersebut. Ada yang ngos-ngosan, memakai walking stick, namun ada juga yang masih tampak segar, ceria, dan bersemangat.

Aku jadi teringat pertama kali mendaki Ijen dulu, sepertinya memakan waktu lebih dari 2 jam. Sepertinya tiap 10-20 meter harus berhenti karena kaki rasanya lemas sekali dan nafas ngos-ngosan. Pendakian kedua pun tidak jauh berbeda, bahkan lebih lama lagi, sampai di puncak sudah terang saat itu hahahaha...

Namun pendakian ketiga bersama Gea bulan lalu, sudah lebih baik, hanya sekitar 1.5 jam. Semuanya berkat latihan. Latihannya seperti apa? Hanya jalan kaki keliling perumahan tiap pagi (dengan kecepatan 5-6 km/jam), dan beberapa hari terakhir sudah mulai di-mix dengan lari. Jarak yang ditempuh hanya 3-4 km per hari, namun ternyata membuat perbedaan stamina yang sangat besar untuk mendaki Ijen.

Dengan mengenakan Mi Band, terekam jarak dari basecamp Paltuding ke puncak sekitar 3.5 - 3.8 km. Total waktu tempuh pulang dan pergi adalah 2 jam 7 menit untuk total jarak lebih dari 7 km. Not bad for a short practice ^_^

Tuesday, July 11, 2017

BALI TRIP JUNI-JULI 2017 - REVIEW AKOMODASI

Sewaktu libur hari raya Idul Fitri kemarin, kebetulan kedua orang tuaku sedang berada di rumahku. Mereka berdomisili di Cilacap, Jawa Tengah, dan ada kalanya 1-2 kali dalam setahun, mereka akan berkunjung ke rumahku. Biasanya sampai sekitar 1 bulan di rumah.

Nah karena sedang event liburan, maka aku dan suamiku merencanakan untuk mengajak mereka berdua berlibur ke Bali, ke tempat-tempat yang sudah pernah kami kunjungi sebelumnya.

Berikut aku rangkumkan dulu tempat kami menginap selama di Bali tanggal 26 Juni - 3 Juli 2017 yang lalu ya....


Tempat-tempat menginap:


1. TIMBIS HOMESTAY, SOUTH KUTA

Untuk tanggal 26 Juni - 29 Juni, sebetulnya aku sudah booking semacam tree house (rumah pohon) melalui aplikasi AirBnB. Nama tempatnya Bruno's Hut, berlokasi agak terpencil di jalan kecil di daerah Kuta Selatan. Reviewnya bagus, dan harganya sangat murah, per malamnya US$ 12, plus pajak dan service AirBnB, total menjadi US$ 41 (dirupiahkan waktu itu Rp 536.625,-). Harga total ini merupakan harga untuk 4 orang selama 3 malam loh! Kalau dipecah jadi Rp 44.719,- per orang per malam. Murah banget kan?

Setelah konfirmasi booking, pengelolanya, bli Manuh, mengirim pesan kalau di tempat tersebut tidak ada AC-nya. Kami tidak keberatan, karenanya tetap memutuskan untuk menginap di sana.

Ternyata sesampai di sana, kami diarahkan oleh bli Manuh untuk pindah ke Timbis Homestay. Alasannya di Bruno's Hut tidak ada dinding temboknya (sebetulnya nggak masalah sih buatku), tidak cocok untuk keluarga (mungkin kasihan melhat orang tuaku yang usianya 69 dan 68 tahun), dan katanya air bersih mati sejak kemarinnya.

Kami diberi ganti dua buah kamar di Timbis Homestay. Yang satunya kamar standar dengan queen bed, AC, dan kamar mandi dalam (saya lihat di booking.com harganya Rp 170.000,- per malam).



Yang satunya lagi seperti rumah pohon, jadi untuk ke kamar harus naik tangga dulu. Tersedia queen bed, AC, dan posisi kamar mandi di luar (di bawah) namun hanya diperuntukkan bagi kamar ini saja. Untuk kamar yang ini, harga di booking.com senilai Rp 210.000,- per malam.
Jadi lumayan sekali ya, hanya membayar 500 ribuan, mendapatkan kamar senilai 1 jutaan hehehehe...



Di sekeliling area homestay banyak pepohonan, sehingga terkesan sejuk dan asri. Kalau di Bruno's Hut, ada dapur kecil untuk dipakai sendiri, sedangkan di Timbis Homestay ini, ada dapur sederhana juga, namun semua boleh pakai. Ada kompor gas, lemari es, dan galon air panas (yang air dingin nggak keluar airnya). Peralatan masak sederhana dan peralatan makan sudah tersedia apabila kita ingin makan atau masak di dapur umum ini.



Oya, bli Manuh pun memiliki beberapa sepeda motor apabila kita butuh kendaraan roda dua selama di sana. Kami pun sempat sewa untuk 1 hari (24 jam), per motor dihargai Rp 50.000,- dan ini termasuk cukup murah lho, karena pada umumnya sewa sepeda motor di Bali tarifnya berkisar 60-80 ribuan per hari. Harga spesial sepertinya hanya untuk tamu yang menginap di tempat tersebut ^_^



Secara keseluruhan, menginap di Timbis Homestay ini bisa dibilang memuaskan, karena murah dan asri. Tempatnya pun bersih, termasuk kamar mandinya. Yang sedikit mengganggu hanyalah banyak sekali serangga, terutama semut yang besar-besar. Masalahnya, di mana pun aku berada, sepertinya aku ini selalu jadi pemikat serangga, jadi hanya aku saja yang digigiti semut setiap hari, Tapi ya sudahlah, yang penting suami dan papi mamiku betah di tempat itu hehehehe...


2. RUMAH SUTA, UBUD

Untuk tanggal 29 Juni - 2 Juli, aku booking di Rumah Suta, lewat AirBnB juga. Namanya di AirBnb hanya "Large Villa with Jungle and Sunrise Views". Tarifnya sekitar US$ 30 per malam, plus pajak dan service AirBnb, total menjadi US$ 99 (dirupiahkan menjadi Rp 1.339.364,-). Ini juga harga untuk total 4 orang selama 3 malam ya, jadi terhitung Rp 111.614,- per orang per malam. Tampilan di foto-fotonya tampak menarik, luas dan bersih.

Yang mengelola tempat ini namanya Parag, beliau (katanya sih) turis dari India, tapi sudah tinggal di sana selama 2,5 tahun! Ini sih bukan turis ya namanya....

Lokasinya di desa Bentuyung, sekitar 4-5 KM dari pusat kota Ubud (10-15 menitan naik sepeda motor_. Cukup jauh memang, dan mendekati tujuan, jalannya agak naik turun dan berbelok-belok. Apabila menginap di sini pun, Parag bisa membantu mencarikan sewaan sepeda motor. Kita tinggal telepon atau WhatsApp, nanti orangnya akan datang membawakan sepeda motornya untuk kita. Tarifnya berkisar 60-70 ribuan per hari. Waktu itu kami pilih yang 60 ribu saja per hari.

Untuk rumahnya sendiri bagaimana?
Wah jujur saja, tempat ini asyik banget, salah satu tempat menginap paling asyik selama berkali-kali ke Bali. Dari pintu gerbang, kita harus turun beberapa anak tangga. Nah di sinilah kita tinggal. Tempatnya memang seperti villa dengan 2 kamar. Ruangannya (kecuali kamar tidur) serbaterbuka. Ruang makan/ruang keluarga/ruang santai jadi satu, dan luaaas lho... dapur berada di sisi belakang, dengan perabotan yang cukup baik kualitasnya. Disediakan panci, wajan teflon, beberapa alat masak, dan peralatan makan yang cukup lengkap di dalam sebuah lemari. Kitchen sink dan serbet yang disediakan pun bersih. Air mineral galon disediakan (kalau habis bisa minta). Mungkin karena kami berempat menginap untuk 3 malam waktu itu, disediakan air mineral sebanyak 3 galon! Hahahaha....



Kamar tidurnya pun besar, masing-masing dengan kamar mandi dalamnya, yang walaupun sederhana, namun luaaaasss.... kasurnya semua ukuran king bed. Handuk dan spreinya pun wangi ^_^
Kamar tidur utama yang menghadap ke Timur ada AC dan ceiling fan, sedangkan kamar satunya yang menghadap ke Selatan hanya ada ceiling fan saja. Aku dan suamiku menempati kamar tanpa AC ini, namun sekali pun fan tidak pernah kuhidupkan, karena udara di sana sudah cukup dingin, apalagi waktu itu sedang banyak mendungnya.



Apabila elpiji yang disediakan habis pun, tinggal kirim pesan kepada Parag, dan hari itu juga akan segera diganti baru (kebetulan kami kehabisan gas, lalu kebetulan kami pergi ke kota, dan pada saat pulang sudah diganti baru ^_^).



Overall, menginap di tempat ini amat sangat menyenangkan, dan dengan harga tersebut, tempat ini termasuk sangat murah dengan fasilitas yang memuaskan.


3. ONE HOMESTAY, MUNDUK

Untuk tanggal 2-3 Juli, aku memesan 2 buah kamar di One Homestay, Munduk, via booking.com. Ada kamar yang harganya Rp 200.000,- dan ada yang Rp 280.000,-
Setelah membaca review yang ada, aku memutuskan untuk booking di kamar yang seharga Rp 280.000,- karena kamar yang lebih murah katanya kurang mendapat cahaya matahari, sehingga kadang agak gelap/suram. Selain itu untuk yang lebih mahal ini, di depan kamarnya ada semacam teras dengan meja dan kursinya, sehingga bisa untuk bersantai sambil menikmati pemandangan.



Kamarnya sendiri biasa saja, kamar mandinya juga standar, amenities hanya ada handuk saja. Tidak ada sabun mandi (apalagi shampoo dll), bahkan tidak ada air minum sama sekali. Kalau mau beli air mineral, harganya 10 ribu per botol.
Tidak ada AC, karena dianggap daerah Munduk sudah cukup dingin (eh tapi ternyata lebih dingin sewaktu menginap di Ubud lho, karena Ubudnya juga di pinggiran).



Peraturan di kamar cukup ketat, tidak boleh menggunakan heater listrik atau hair dryer, tidak boleh masak di dalam kamar, dan masih cukup banyak lagi deh. Ada daftar menu dan harganya juga. Aku sendiri kalau bepergian kemana-mana, selalu bawa kompor dan alat masak sederhana, sehingga masih bisa masak sendiri di luar kamar hehehehe.... Untungnya juga, botol-botol air minum kami sudah penuh terisi saat check-out dari Ubud, jadi tidak perlu membeli air minum.

One Homestay ini sendiri, selain penginapan, juga ada warung makannya. Kita memang bisa melihat pemandangan yang indah di pagi hari dari warung tersebut. Idealnya sambil pesan sarapan di warung tersebut, tapi bagi saya menu yang tersedia cukup mahal, apalagi subuhnya saya sudah masak nasi goreng spesial dengan peralatan sendiri ^_^



Overall, buat kami tempat ini biasa banget, apalagi jika dibandingkan dengan yang di Ubud malam sebelumnya. Namun mungkin bisa dimaklumi apabila rata-rata penginapan di daerah Munduk ini agak mahal, karena mungkin tempatnya yang agak terpencil, ditambah medan yang dilalui cukup sulit, penuh tanjakan dan turunan, lengkap beserta belokan-belokan yang tajam.
Harga yang masih masuk di akal, walaupun kalau di daerah lain di Bali kita bisa mendapatkan yang lebih baik dengan harga yang sama.


----

Semua tempat menginap di atas, tidak ada layanan sarapan ya, jadi kita harus sedia makanan sendiri atau bawa bahan makanan kalau ada dapurnya.
Kalau tempat makan di luar penginapan, di ketiga tempat di atas cukup banyak warung makan kok, jadi tidak perlu kuatir kalau memang tidak suka atau tidak sempat memasak selama berlibur hehehehe....

Sekian review beberapa tempat menginap di Bali ya.... sebetulnya masih banyak lagi tempatku dan suami pernah menginap, nanti deh kapan-kapan saya ulas ya.... ^_^